Marwan Batubara |
Setelah berbagai indikasi bahwa pemerintahan Indonesia akan
segera mengumumkan kontrak Blok Mahakam ke depannya, ternyata belum jadi-jadi
juga. Hingga tinggal beberapa minggu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) pun belum diputuskan juga.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
Marwan Batubara menilai bahwa sebenarnya keputusan tentang kontrak Blok Mahakam
merupakan masalah yang mudah untuk ditetapkan tanpa banyak perdebatan.
"Hal ini berlaku terutama jika para pemilik kekuasaan
berpegang pada konstitusi, kepentingan strategis negara, ketahanan energi
nasional, martabat/harga diri, kehormatan bangsa dan kepentingan seluruh
rakyat. Keputusan menjadi sulit jika pemerintah terpengaruh kepentingan asing
atau ada oknumnya yang justru menghambat dominasi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau terlibat dalam pemburuan rente," terang Marwan.
Menurutnya pula bahwa para pemegang kekuasaan di negeri ini
harus menyadari bahwa khusus untuk masalah Blok Mahakam, sebagai bangsa kita
telah menghabiskan energi sangat banyak, berupa pikiran, tenaga, uang dan
waktu, jauh melebihi porsi yang seharusnya.
"Bagi IRESS, jatuhnya Blok Cepu kepada Exxon sudah
lebih dari cukup sebagai ironi dan nestapa bagi rakyat. Jangan ulangi kesalahan
untuk Mahakam. Kita menunggu keputusan Presiden SBY menyerahkan pengelolaan
Blok Mahakam kepada Pertamina, yang kelak akan dikenang sebagai legacy yang baik dan manis oleh seluruh
rakyat Indonesia," keluhnya.
Namun banyak tudingan bahwa Pertamina selaku pemegang saham
terbesar di Blok Mahakam akan tidak optimal menggenjot kinerja Blok
Mahakam.
"Pertamina memang banyak kekurangan. Tetapi sebagai
perusahaan yang 100% milik negara, jika dikatakan tidak mampu oleh orang asing,
maka sudah sepantasnya rakyat marah! Apalagi Pertamina telah menyatakan
kemampuan mengelola Blok Mahakam," ucapnya.
Sebagai catatan, sejak 2008 Pertamina telah lebih dari lima
kali mengungkap dan meminta dengan hormat kepada pemerintah untuk mengelola
Mahakam. "Pertamina pernah menawar saham Total dan Inpex (15%-20%) secara
business to business pada 2010 agar dapat mengelola Blok Mahakam secara bersama
sejak dini. Pertamina pun telah berulang kali menegaskan kemauan dan kemampuan
mengelola 100% Blok Mahakam, termasuk dihadapan sidang DPR RI,"
pungkasnya.
Pada kesempatan yang lain, Presiden Total E&P
Asia-Pacific, Jean-Marie Guillermou telah menawarkan kepada pemerintah
Indonesia supaya Total terus diberi hak mengelola Blok Mahakam hingga 2022
melalui kerjasama dengan pihak Pertamina atau perusahaan yang ditunjuk.
Total menawarkan jalann tengah untuk mengelola Mahakam
dengan periode transisi selama 5 tahun sejak 2017 dengan komposisi saham 30%
Total, 30% Inpex dan 40% Pertamina. Tetapi tetap Total lah yang menjadi
operatornya.
Total berpendapat bahwa periode transisi lima tahun tersebut
dibutuhkan dalam rangka untuk membagi data teknis dan transfer pengalaman
selama puluhan tahun mengelola Mahakam kepada Pertamina. Guillermou juga
menyampaikan bahwa apabila tidak ada masa transisi sama sekali, maka produksi
migas akan langsung turun drastis dan otomatis akan mengakibatkan penurunan
penerimaan negara Indonesia.
Nasionalis sih boleh saja, tapi kita juga harus realistis.
Dan sepertinya tawaran yang diajukan oleh Total lah yang realitis, yakni
mengelola Blok Mahakam secara bersama-sama. Kalau belum pernah mengelola blok
sulit seperti Blok Mahakam kan pasti akan kagok. Sedangkan apabila ada waktu
untuk transisi skill dan teknologi, pasti hal itu akan lebih menguntungkan. Pertamina
juga otomatis akan dapat pengetahuan tambahan dari perusahaan sekelas Total dan
Inpex, yang akan bisa digunakan ke depannya bahkan tidak terbatas pada
pengelolaan Blok Mahakam!
No comments:
Post a Comment