Thursday 30 January 2014

Total E&P Kini Dipimpin Eksekutif Indonesia, Positif untuk Industri Migas

Hardy Pramono, Presiden Total E&P 
Mayoritas perusahaan minyak dan gas skala dunia (oil majors) yang beroperasi di Indonesia dipimpin oleh negara asal perusahaan tersebut. Namun, kecenderungan tersebut mulai berubah. Beberapa perusahaan migas raksasa dunia yang beroperasi di Indonesia mulai mempercayakan posisi puncak perusahaan kepada putra-putri bangsa. Yang teranyar adalah Hardy Pramono. Ia secara resmi diangkat untuk menjadi Presiden Direktur Total E&P Indonesie, menggantikan Elisabeth Proust, yang telah cukup lama memimpin perusahaan migas raksasa asal Perancis tersebut. 

Ini untuk pertama kali Total E&P Indonesie dipimpin oleh orang Indonesia
sejak mulai beroperasinya di Indonesia tahun 1976. Tentu saja pengangkatan Hardy Pramono menjadi sejarah baru bagi Total E&P Indonesie. Hardy Pramono bukanlah orang baru di perusahaan asal Perancis tersebut. Ia telah malang melintang bekerja di perusahaan, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain. Sebelum diangkat jadi Presiden Direktur, Pramono memegang posisi Executive Vice President East Kalimantan District & Operation.
Elisabeth Proust telah menjadi Presiden Direktur dan General Manajer Total E&P Indonesie sejak 2008. Proust juga sempat menjadi Presiden Indonesia Petroleum Associaton periode 2012, menggantikan Jim Taylor. Ia juga menjadi anggota IPA sejak 2009 dan menjadi pejabat di IPA pada 2010.

PT Chevron Pacific Indonesia merupakan salah satu perusahaan migas dunia yang juga telah dipimpin oleh orang Indonesie. Saat ini, CPI dipimpin oleh Abdul Hamid Batubara sebagai Presiden Direktur. Selain itu, perusahaan migas global lain yang juga kini dipegang oleh putra Indonesia adalah Marjolijn Wajong, yang menjabat sebagai GM Santos Indonesia.

Apa arti penting pengangkatan Hardy Pramono sebagai Presiden Direktur Total E&P Indonesie? Pertama, perusahaan migas global sudah memiliki sistem, corporate culture dan tata kelola yang sudah terbentuk dengan rapih. Jadi, siapapun yang memegang jabatan sebagai Presiden Direktur, tidak akan terjadi guncangan atau perubahan-perubahan yang drastis. Dengan demikian, dari sisi operasional, tidak akan ada kejutan-kejutan. 

Kedua, equal opportunities atau kesempatan yang sama. Rata-rata perusahaan global dan kelas dunia sangat memegang teguh prinsip persamaan bagi setiap karyawan. Tentu tidak ada kolusi agar bisa naik jabatan. Siapa yang berkompeten dan berprestasi, dia memiliki peluang mengembangkan karirnya, hingga ke posisi puncak. Perusahaan seperti Total merekrut tenaga-tenaga lokal yang berkompeten, punya kemampuan untuk berkembang. 


Mereka diberi training, pelatihan serta kesempatan magang di negara lain untuk menimba ilmu. Ini merupakan salah satu magnet, banyak insinyur Indonesia lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia memilih perusahaan-perusahaan skala global, karena mereka akan dapat belajar banyak dan dapat meningkatkan keahlian mereka. Semangat profesionalisme betul-betul ditanamkan pada setiap karyawan.

Diangkatnya Hardy Pramono sebagai Presiden Direktur Total E&P Indonesie juga positif bagi industri migas nasional. Sebagai seorang profesional di bidangnya, Hardy Pramono dapat memberikan masukan kepada pemerintah bagaimana mengembangkan industri minyak dan gas bumi ke depannya. Sebagai warga negara yang bekerja di perusahaan multi-nasional, boss Total Indonesie ini seharusnya tidak akan menemukan kendala berarti dalam menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal maupun stakeholders lainnya.

Naiknya Hardy Pramono sebagai pemimpin puncak Total E&P Indonesie juga dapat diartikan sebagai semakin menyatunya perusahaan asal Perancis ini dengan masyarakat lokal. Posisinya dia sebelumnya sebagai Executive Vice President East Kalimantan District & Operation akan memudahkan Total E&P dalam mempererat hubungan dengan pemerintah lokal di Kalimantan Timur maupun stakeholders lainnya. Apalagi, Total E&P sudah hadir di Kaltim sekitar 40 tahun, dan tentu sudah ada saling pengertian yang mendalam, antara Perseroan dengan mitra bisnis, maupun dengan masyarakat. 

Jelas tantangan yang akan dihadapi Presiden Direktur Total E&P Indonesie ini tidaklah mudah. Ia naik bukan saat jaya-jayanya Blok Mahakam, tapi saat blok ini memasuki usia uzur. Sekitar 80% cadangan minyak dan gas bumi Blok Mahakam sudah dieksploitasi atau diproduksi. Tinggal 20% lagi yang belum dikembangkan. Dari sisi operasional, mengembangkan blok Mahakam kedepan tidaklah mudah. Dibutuhkan investasi besar setiap tahun serta teknologi tinggi untuk mengangkat minyak dan gas dari perut bumi.  

Total sendiri telah menyatakan komitmennya untuk melakukan investasi dalam tahun-tahun mendatang. Paling tidak US$7,3 miliar akan diinvestasikan dalam lima tahun kedepan untuk pengembangan lanjutan Blok Mahakam. 

Saat ini ada beberapa proyek yang sedang dikembangkan Total, yaitu Proyek Peciko 7B, Sisi Nubi 2B, dan South Mahakam Fase 3. Total E&P sedang menyelesaikan pemasangan 3 anjungan dengan investasi sekitar US$2 miliar untuk mengembangkan Peciko 7B, dan Sisi Nubi 2B yang ditargetkan mulai berproduksi pada 2014 ini.  

Bagi pemerintah, produksi Mahakam masih dianggap strategis karena produksi gas dari Blok Mahakam menyuplai sekitar 80% kebutuhan gas pada fasilitas LNG di Bontang, Kalimantan Timur. Karena itu, Total maupun pemerintah memiliki kepentingan yang sama untuk mempertahankan tingkat produksi dan melanjutkan pengembangan Blok Mahakam. Faktor kesinambungan produksi kemungkinan akan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menentukan operator Blok Mahakam pasca 2017. 

Total E&P, dengan mitranya Inpex Corp, telah mengajukan proposal perpanjangan hak pengelolaan Blok Mahakam. Pelaku industri migas berharap pemerintah segera memutuskan operator baru, apakah memperpanjang, tidak diperpanjang atau menerapkan skema baru engan melibatkan operator lama. (*)

Thursday 23 January 2014

Indonesia Hadapi Tiga Darurat, Apa Saja?

Darurat Bencana!
Di sebuah sudut kafe di Bogor, tiga orang sahabat lama berkumpul. Ketiganya adalah lulusan sebuah institut teknologi terkemuka di Bandung. Saat ini, mereka bekerja di tempat yang berbeda-beda. Sambil menyeruput kopi panas, mereka berbincang-bincang santai mulai dari masalah pekerjaan, bisnis, hingga masalah yang umum. Salah seorang mengajukan pertanyaan yang menggelitik. Indonesia saat ini sedang darurat. Apa itu?

Mocthar menjawab, "Yang jelas, saat ini Indonesia sedang menghadapi Darurat Bencana. Lihat saja masalah di sekitar kita, media televisi, koran dan online, semua memberitakan masalah bencana, mulai dari bencana banjir, banjir bandang, letusan gunung api, dan bencana lainnya."

Akil Mochtar, mantan Ketua MK. Darurat Korupsi!
Anton menimpali, bagi saya bencana yang lebih dahsyat adalah Korupsi. Bencana banjir, tanah longsor atau letusan gunung api terjadi barangkali hanya 1-2 bulan selama setahun. Tapi korupsi? Terjadi merata dan masif, mulai dari pusat hingga daerah, dari para elit politik dan birokrat hingga kepala desa.

Negara dan rakyat dirugikan triliun rupiah setiap tahun akibat korupsi. Ratusan miliar bahkan triliunan dana kontribusi sektor minyak dan gas bumi yang masuk ke APBN, kemudian bocor alias dikorupsi baik di pusat maupun di daerah. Jadi Indonesia saat ini menghadapi Darurat Korupsi yang harus diatasi dan dilawan.

Anton kemudian mengoceh panjang lebar tak kalah dengan Wakil Rakyat di Senayan menyebut satu per satu kasus korupsi besar yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti kasus Hambalang yang melibatkan mantan petinggi dan elit Partai Demokrat, dugaan penyelewengan (korupsi) dana bailout Bank Century, kasus impor sapi yang melibatkan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kasus korupsi Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkama Konstitusi (MK). Konon, AM yang turut berperan dalam membubarkan BPMIGAS dan pendukung gerakan nasionalisasi migas, didakwa menerima puluhan dan bahkan ratusan miliar terkait kasus dispute terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Baru-baru ini, KPK bahkan menemukan puluhan miliar uang yang disembunyikan di rumah dinas AM.

Pipa Gas. Indonesia hadapi Darurat Energi!
Tidak hanya itu, masih banyak kasus korupsi lain, seperti kasus simulasi SIM yang melibatkan oknum petinggi Polri, kasus suap Cheque yang melibatkan puluhan anggota DPR terkait pemilihan gubernur Bank Indonesia. Puluhan mantan dan Kepala Daerah aktif juga terlibat korupsi. Ya, tidak salah, negara ini memang sedang Darurat Korupsi.

Budi Raharjo, yang kini bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas bumi, mengiyakan pendapat kedua kawannya itu. Tapi, ia menambahkan satu darurat lagi. Darurat Energi. Masalah energi, kata Budi, telah, sedang, dan akan terus menjadi problem utama bagi Indonesia. Lihat saja, perdebatan tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menghantui Indonesia dari tahun ke tahun. Akar persoalannya, adalah penurunan produksi minyak di hulu. Produksi minyak Indonesia telah turun menjadi hanya 830.000 barel per hari saat ini dari 1,6 juta bph pertengahan tahun 1995. Padahal konsumsi BBM Indonesia menjadi 1,5 juta bph. Artinya, Indonesia mengimpor separuh dari kebutuhan BBM.

Patut disayangkan, kata Budi, kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas berkurang. Indonesia saat ini hanya berproduksi dari cadangan yang ditemukan belasan dan puluhan tahun lalu. Tanpa ada tambahan cadangan, maka Indonesia akan menghadapi krisis energi hebat dalam tahun-tahun mendatang. "Jadi bagi saya, Indonesia saat ini sedang menghadapi Darurat Energi," ujar Budi.

Obrolan ringan ketiga warga bangsa di atas merupakan cerminan kegundahan putra-putri bangsa dewasa Indonesia. Banjir yang melanda ibu kota Jakarta telah melumpuhkan sebagian aktivitas masyarakat ibu kota Jakarta. Distribusi barang terganggu. Di utara pulau Jawa, jalan Pantura terputus, tidak bisa dilewati akibat tergenang air. Di Manado, belasan jiwa melayang dan ratusan rumah rusak akibat terjangan banjir bandang. Berbagai kota dan wilayah di Jawa Tengah juga terendam banjir dan merusak tanaman padi.

Banjir yang terjadi di Jakarta antara lain diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi di puncak. Air langsung mengalir deras melalui sungai Ciliwung dan Cisadane dan sungai-sungai kecil lainnya. Tidak ada infrastruktur dam atau waduk yang menampung air. Di Jakarta sendiri, sistem drainase juga buruk karena tertutup oleh sampah-sampah. Sistem drainase dan kanal yang ada saat ini bahkan sebagian besar dibangun pada zaman Belanda. Buruknya infrastruktur juga turut menyebabkan banjir dan air tergenang dimana-mana.

Demikian juga kasus-kasus korupsi. Tidak heran bila berbagai lembaga internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan urutan teratas untuk dalam hal peringkat korupsi. Pada zaman Orba, seperti kekuasaan, korupsi terpusat di pusat pemerintahan dan Ring Satu. Setelah Reformasi, kekuasaan terpecah-pecah. Sebagian otoritas pusat diberikan ke Pemerintah Daerah sejalan dengan undang-undang Otonomi Daerah. Implikasinya, korupsi juga menyebar ke daerah. Izin-izin diperjual belikan. Korupsi tidak hanya terjadi pada lembaga eksekutif, tapi juga lembaga Yudikatif dan Legislatif. Benar, Indonesia saat ini sedang DARURAT KORUPSI.

Kita sepakat dengan darurat yang ketiga, yaitu Darurat Energi. Energi itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Energi sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Energi berperan sangat penting dalam mendukung aktivitas perekonomian. Listrik, misalnya, sangat dibutuhkan oleh sebuah industri untuk menggerakan mesin-mesin industri. Listrik tidak datang begitu saja, tapi dihasilkan oleh sumber lain, bisa berupa minyak dan gas bumi, panas bumi, solar, air, batu bara, angin dan lain.

Saat ini, sekitar 70-80% sumber energi kita datang dari minyak dan gas bumi, sementara sumber energi baru dan terbarukan belum signifikan. Minyak dan gas bumi masih akan tetap menjadi sumber energi yang vital bagi Indonesia kedepan. Untuk itu, pemerintah harus tetap fokus mengembangkan sektor migas, terutama investasi eksplorasi. Eksplorasi perlu ditingkatkan untuk meningkatkan cadangan. Tanpa eksplorasi, mustahil cadangan migas Indonesia meningkat.

Untuk mendorong investor berinvestasi di sektor migas tidak mudah karena saat ini investasi eksplorasi kian sulit dan membutuhkan biaya dan teknologi tinggi. Alasannya, sebagian besar Wilayah Kerja (WK) yang ada berada di laut lepas, yang sebagiannya berada di laut dalam (lepas pantai). Beberapa blok migas tergolong kompleks dan rumit untuk dikembangkan seperti Blok East Natuna, Blok Mahakam, blok-blok migas di selat Makassar serta Blok Masela.

Blok East Natuna saat ini belum dikembangkan karena elemen karbondioxida yang tinggi. Blok Mahakam juga tergolong kompleks dan rumit karena berada di daerah rawa-rawa dan telah berproduksi 40 tahun lebih. Dibutuhkan effort yang lebih keras lagi serta dana yang lebih besar dan teknologi untuk mengembangkan Blok Mahakam. Karena itu, kedepannya, operator blok Mahakam harus perusahaan yang betul-betul memahami karakter blok ini agar risiko bisa ditekan dan produksi optimal.

Untuk mengatasi Darurat Energi, Indonesia perlu mengembangkan sumber energi fossil dan non-fossil atau baru dan terbarukan. Tugas pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif, menciptakan kepastian hukum dan berusaha serta kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi, termasuk insentif fiskal. Kita berharap pemerintah, baik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini dan pemerintah yang akan datang mampu mengatasi Tiga Darurat yang dihadapi Indonesia saat ini, yaitu, Darurat Bencana, Darurat Korupsi dan Darurat Energi. (*)

Thursday 9 January 2014

Prospek Industri Hulu Minyak dan Gas di Indonesia, Asia Tenggara 2014


Blok Mahakam yang dikembangkan oleh Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex Corp, masih berperan signifikan dalam menopang produksi gas nasional. Hanya memang kedepan, pengembangan blok ini tidak bisa dilakukan lagi secara biasa-biasa saja, karena kondisi lapangan-lapangan yang sudah tua, sehingga membutuhkan investasi besar dan teknologi mutakhir untuk mengangkat minyak dan gas bumi dari perut bumi.

* * *

Sebuah Anjungan Migas lepas pantai
Baru-baru ini sebuah perusahaan riset industri Reportbuyer.com mempublikasikan sebuah studi tentang prospek industri hulu minyak dan gas bumi di Asia Tenggara, yang mencakup Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja, Brunei Darussalam dan Myanmar. Laporan tersebut juga mendiskusikan potensi dan perubahan peta kompetisi pada industri pendukung minyak dan gas bumi seperti drilling rig, pipa dan anjungan minyak dan gas lepas pantai. Juga dibahas pendorong serta tantangan pada aktivitas eksplorasi dan produksi di kawasan ini.
Beberapa  poin penting dari laporan tersebut, antara lain:
(1)   Secara global ada peningkatan aktivitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi. Peningkatan kegiatan eksplorasi antara lain didorong oleh menurunnya tingkat produksi lapangan-lapangan migas yang sudah berproduksi dan perlu diganti dengan produksi dari lapangan-lapangan migas baru. Namun, tingkat kesuksesan eksplorasi cenderung menurun.
(2)   Biaya untuk mencari dan memproduksi hidrokarbon telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pengambangan lapangan minyak dan gas baru menuntut solusi baru yang lebih kompleks sehingga menelan biaya investasi lebih besar. Pada sisi lain, teknologi baru tersedia sehingga membuka pintu bagi pengembangan blok-blok migas, yang sebelumnya tampak sulit dilakukan
(3)   Isu Keamanan Energi (Energy Security) menjadi isu yang strategis bagi banyak negara di kawasan ini. Hal ini mendorong pemerintah negara-negara Asia Tenggara untuk mendapatkan kepastian suplai Minyak dan Gas Bumi. Minyak dan Gas merupakan salah satu kontributor utama terhadap pertumbuhan PDB bagi negara-negara penghasil minyak dan gas bumi.
(4)   Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang menjanjikan potensi pasar  dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Indonesia, Malaysia dan Brunei merupakan tiga negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki perusahaan minyak dan gas bumi yang sudah berpengalaman (well-established). Kegiatan industri hulu migas di Thailand, Vietnam dan Filipina juga telah menunjukkan peningkatan. Myanmar dan Kamboja merupakan dua negara yang baru membuka industri minyak dan gas bumi ke dunia luar.
(5)   Malaysia dan Indonesia menawarkan peluang bagi pengembangan lapangan atau blok-blok migas laut dalam dan marginal.
(6)   Asia Tenggara berpotensi menjadi global hot spots dalam lima tahun mendatang didorong oleh cadangan hidrokarbon yang menarik, lingkungan business yang mendukung serta pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
(7)   Investasi industri migas di Asia Tenggara didorong oleh perusahaan-perusahaan migas nasional dan internasional (IOCs) yang telah beroperasi di negara-negara kawasan ini, terutama di Malaysia dan Indonesia. Malaysia tampaknya berupaya menjadi hub industri minyak dan gas bumi di Asia Tenggara. Negara ini juga berinvestasi mengembangkan infrastruktur migas hilir untuk menopang industri migas yang berkesinambungan.


Laporan Reportbuyer.com tersebut menarik untuk disimak. Satu hal yang perlu diwaspadai Indonesia adalah bahwa saat ini dan tahun-tahun mendatang Indonesia akan bersaing ketat dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, tidak hanya dengan Malaysia dan Thailand tetapi juga dengan Vietnam dan Kamboja. Persaingan terutama dalam mendatang investasi untuk mengembangkan industri migas.

Memang industri migas Indonesia tergolong industri yang matured, apalagi Indonesia pernah menjadi anggota OPEC. Tapi kini Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak sejak pertengahan tahun 2000-an setelah Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Indonesia bahkan kini memiliki tantangan yang lebih berat untuk menghadapi produksi minyak yang cenderung turun, serta peningkatan investasi migas yang lambat. Bahkan beberapa proyek migas tertunda akibat kendala teknis dan non-teknis. Menjadi PR pemerintah, baik yang sedang berkuasa, maupun pemerintah hasil pemilihan umum nanti untuk mendorong investasi.

Beberapa blok migas utama saat ini menuntut perhatian serius pemerintah, antara lain Blok Masela di laut Arafura yang dikembangkan Inpex Corp bersama Shell. Proyek yang menelan US$5,5 miliar merupakan proyek floating LNG (FLNG) pertama di Indonesia. Selain itu, Blok Mahakam, yang kontraknya akan berakhir akhir Maret 2017.

Blok Mahakam yang dikembangkan oleh Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, masih berperan signifikan dalam menopang produksi gas nasional. Hanya memang kedepan, pengembangan blok ini tidak bisa dilakukan lagi secara biasa-biasa saja, karena kondisi lapangan-lapangan yang sudah tua, sehingga membutuhkan investasi besar dan teknologi mutakhir untuk mengangkat minyak dan gas bumi dari permukaan tanah. Blok Mahakam butuh investasi yang lebih besar lagi untuk mencegah penurunan produksi ilmiah. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait operator Blok Mahakam pasca 2017 sehingga rencana investasi lanjutan dapat disiapkan jauh-jauh hari.    (*)
 

Thursday 2 January 2014

Lapangan Minyak Indonesia Kian Mengering, Impor Terus Meningkat


Industri perminyakan Indonesia sebenarnya merupakan sebuah industri yang sudah matured karena sebagian besar lapangan-lapangan minyak sebagian besar tergolong tua. Sejarah industri perminyakan Indonesia juga sudah berlangsung lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sudah berlangsung cukup lama di Sumatera. Bahkan perusahaan migas Belanda Shell punya jejak yang sangat kuat di Sumatera. Tidak mengherankan bila 70-80 persen lapangan minyak di Indonesia saat ini sudah tergolong uzur. Berbeda dengan minyak, gas bumi eksplorasi dan produksi gas bumi baru muncul belakangan.

Sebuah artikel menarik yang ditulis oleh kantor berita Bloomberg beberapa hari lalu mengingatkan kita atas kondisi industri migas Indonesia. Laporan tersebut berjudul, Draining Indonesia Oil Fields Raise Import Need: South East Asia, dengan jelas menggambarkan kondisi industri migas saat ini. Sebagai contoh, sebuah tanki minyak di lapangan Bekapai, Blok Mahakam, kini dibutuhkan 60 hari untuk mengisi 500.000 barel minyak dalam sebuah tanki. Padahal dulu cuma dibutuhkan 10 hari, demikian laporan Bloomberg mengutip Kristanto Hartadi, juru bicara Total E&P Indonesie.

Lapangan Bekapai merupakan salah satu lapangan tua di Blok Mahakam. Tahun 1978, lapangan Bekapai memproduksi 50.000 barel minyak per hari, tapi sekarang Cuma 7.000 barel per hari, menunjukkan betapa produksi dari lapangan-lapangan tua seperti ini, kini tidak seproduktif dulu. 

Apa dampak bila sebuah lapangan migas memasuki usia uzur? Pertama, biaya semakin mahal untuk memproduksi volume yang sama. Kedua, dibutuhkan teknologi baru untuk menarik minyak dan gas dari perut bumi.

Implikasi lain adalah bahwa Indonesia akan mengimpor lebih banyak minyak dalam tahun-tahun mendatang. BPPT, seperti yang dikutip Bloomberg, akan mengimpor 90% kebutuhan minyak Indonesia tahun 2030. Wow. Tentu situasi ini akan sangat berat karena puluhan triliun rupiah bakal digelontorkan tiap hari untuk membeli minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

Unggul Priyanto, wakil kepala BPPT, mengatakan permintaan minyak yang tinggi serta produksi yang terus menurun memaksa Indonesia untuk meningkatkan impor minyak. Artinya, dalam 1 dekade mendatang, ketergantungan Indonesia pada impor minyak bakal sangat tinggi. 

Produsen minyak memproduksi 804.000 barel minyak per hari tahun 2013, kata J. Widjonarko, Plt. Kepala SKK Migas, yang mengatur sektor hulu minyak dan gas bumi. Ini merupakan level terendah sejak 1969, dibawah target sebesar 870.000. “Kami hanya mengoptimalkan produksi dari cadangan minyak yang ada karena tidak ada penemuan cadangan baru,” kata Widjonarko.

Hanya 72 lapangan migas saat ini yang berproduksi dari 329 Working Areas (WK).  Impor produk minyak (refined products) diperkirakan mencapai 567 juta barel pada tahun 2030, dibanding 172 juta barel tahun 2011. 

Kantor berita tersebut juga melaporkan Indonesia akan mengekspor 10 persen produksi gas bumi tahun 2030, turun dari 46 persen tahun 2011. Sebagian besar produksi gas bumi akan terserap oleh pasar dalam negeri. Impor LNG bakal meningkat menjadi 642 miliar kaki kubik. Tren impor LNG sudah terlihat dengan keputusan pertamina untuk menandatangani kontrak pembelian LNG selama 20 tahun dari Cheniere Energy Inc, Amerika Serikat. 

Response Indonesia
Lalu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap kondisi industri minyak Indonesia? Bila tidak melakukan apa-apa, maka Indonesia bakal menghadapi krisis energi (minyak) yang akut. Harus ada tindakan drastis. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan Indonesia. Pertama, tingkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi, untuk menambah cadangan. Tanpa ada eksplorasi, tak akan ada penambahan cadangan minyak dan gas bumi. Kedua, beralih ke gas bumi dan diversifikasi. Untuk itu diperlukan pembangunan infrastruktur gas bumi yang lebih baik. Diversifikasi sumber energi ke energi baru dan terbarukan. Hal ini sudah mulai dilakukan tapi masih terlihat setengah hati. Ketiga, undang investor migas, baik internasional oil companies (IOCs) maupun nasional untuk meningkatkan investasi di sektor migas, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi. Keempat, mendorong produsen migas utama seperti Chevron, Total E&P Indonesia, BP, Inpex, Pertamina, ExxonMobil, ConocoPhillips, dll untuk meningkatkan investasi—baik untuk eksplorasi maupun produksi/eksploitasi. 

Kelima, ciptakan iklim investasi yang kondusif, termasuk kepastian kontrak-kontrak Blok Migas yang akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Blok Mahakam, walaupun sudah matured, masih bisa dikembangkan lebih lanjut dengan dukungan modal yang besar, teknologi tinggi dan keahlian/pengalamanan. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang operator yang tepat Blok Mahakam pasca 2017. Untuk mengamankan dan mengoptimalkan produksi dan mengurangi risiko, perpanjangan kontrak boleh jadi akan menjadi opsi yang pas. Opsi ideal lainnya adalah menciptakan skema baru, dengan melibatkan operator lama dan mengadopsi masuknya pemain baru, yakni Pertamina. (*)