Industri perminyakan Indonesia
sebenarnya merupakan sebuah industri yang sudah matured karena sebagian besar lapangan-lapangan minyak sebagian
besar tergolong tua. Sejarah industri perminyakan Indonesia juga sudah
berlangsung lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sudah berlangsung cukup lama di Sumatera. Bahkan perusahaan migas
Belanda Shell punya jejak yang sangat kuat di Sumatera. Tidak mengherankan bila
70-80 persen lapangan minyak di Indonesia saat ini sudah tergolong uzur. Berbeda
dengan minyak, gas bumi eksplorasi dan produksi gas bumi baru muncul
belakangan.
Sebuah artikel menarik yang
ditulis oleh kantor berita Bloomberg beberapa hari lalu mengingatkan kita atas
kondisi industri migas Indonesia. Laporan tersebut berjudul, Draining Indonesia Oil Fields Raise Import
Need: South East Asia, dengan jelas menggambarkan kondisi industri migas
saat ini. Sebagai contoh, sebuah tanki minyak di lapangan Bekapai, Blok
Mahakam, kini dibutuhkan 60 hari untuk mengisi 500.000 barel minyak dalam
sebuah tanki. Padahal dulu cuma dibutuhkan 10 hari, demikian laporan Bloomberg
mengutip Kristanto Hartadi, juru bicara Total
E&P Indonesie.
Lapangan
Bekapai merupakan salah satu lapangan tua di Blok Mahakam. Tahun 1978, lapangan
Bekapai memproduksi 50.000 barel minyak per hari, tapi sekarang Cuma 7.000
barel per hari, menunjukkan betapa produksi dari lapangan-lapangan tua seperti ini, kini tidak seproduktif dulu.
Apa
dampak bila sebuah lapangan migas memasuki usia uzur? Pertama, biaya semakin
mahal untuk memproduksi volume yang sama. Kedua, dibutuhkan teknologi baru
untuk menarik minyak dan gas dari perut bumi.
Implikasi
lain adalah bahwa Indonesia akan mengimpor lebih banyak minyak dalam
tahun-tahun mendatang. BPPT, seperti yang dikutip Bloomberg, akan mengimpor 90%
kebutuhan minyak Indonesia tahun 2030. Wow. Tentu situasi ini akan sangat berat
karena puluhan triliun rupiah bakal digelontorkan tiap hari untuk membeli
minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Unggul
Priyanto, wakil kepala BPPT, mengatakan permintaan minyak yang tinggi serta
produksi yang terus menurun memaksa Indonesia untuk meningkatkan impor minyak.
Artinya, dalam 1 dekade mendatang, ketergantungan Indonesia pada impor minyak
bakal sangat tinggi.
Produsen
minyak memproduksi 804.000 barel minyak per hari tahun 2013, kata J.
Widjonarko, Plt. Kepala SKK Migas, yang mengatur sektor hulu minyak dan gas
bumi. Ini merupakan level terendah sejak 1969, dibawah target sebesar 870.000. “Kami
hanya mengoptimalkan produksi dari cadangan minyak yang ada karena tidak ada
penemuan cadangan baru,” kata Widjonarko.
Hanya
72 lapangan migas saat ini yang berproduksi dari 329 Working Areas (WK). Impor produk minyak (refined products) diperkirakan
mencapai 567 juta barel pada tahun 2030, dibanding 172 juta barel tahun 2011.
Kantor
berita tersebut juga melaporkan Indonesia akan mengekspor 10 persen produksi
gas bumi tahun 2030, turun dari 46 persen tahun 2011. Sebagian besar produksi
gas bumi akan terserap oleh pasar dalam negeri. Impor LNG bakal meningkat
menjadi 642 miliar kaki kubik. Tren impor LNG sudah terlihat dengan keputusan
pertamina untuk menandatangani kontrak pembelian LNG selama 20 tahun dari
Cheniere Energy Inc, Amerika Serikat.
Response Indonesia
Lalu
apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap kondisi industri minyak
Indonesia? Bila tidak melakukan apa-apa, maka Indonesia bakal menghadapi krisis
energi (minyak) yang akut. Harus ada tindakan drastis.
Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan Indonesia. Pertama, tingkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi, untuk menambah
cadangan. Tanpa ada eksplorasi, tak akan ada penambahan cadangan minyak dan gas
bumi. Kedua, beralih ke gas bumi dan diversifikasi. Untuk itu diperlukan
pembangunan infrastruktur gas bumi yang lebih baik. Diversifikasi sumber energi
ke energi baru dan terbarukan. Hal ini sudah mulai dilakukan tapi masih
terlihat setengah hati. Ketiga, undang investor migas, baik internasional oil
companies (IOCs) maupun nasional untuk meningkatkan investasi di sektor migas,
baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi. Keempat, mendorong produsen migas
utama seperti Chevron, Total E&P Indonesia, BP, Inpex, Pertamina,
ExxonMobil, ConocoPhillips, dll untuk meningkatkan investasi—baik untuk
eksplorasi maupun produksi/eksploitasi.
Kelima,
ciptakan iklim investasi yang kondusif, termasuk kepastian kontrak-kontrak Blok
Migas yang akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Blok Mahakam, walaupun sudah
matured, masih bisa dikembangkan lebih lanjut dengan dukungan modal yang besar,
teknologi tinggi dan keahlian/pengalamanan. Untuk itu, pemerintah perlu
mempertimbangkan dengan matang operator yang tepat Blok Mahakam pasca 2017.
Untuk mengamankan dan mengoptimalkan produksi dan mengurangi risiko,
perpanjangan kontrak boleh jadi akan menjadi opsi yang pas. Opsi ideal lainnya
adalah menciptakan skema baru, dengan melibatkan operator lama dan mengadopsi
masuknya pemain baru, yakni Pertamina. (*)
No comments:
Post a Comment