Thursday 2 January 2014

Lapangan Minyak Indonesia Kian Mengering, Impor Terus Meningkat


Industri perminyakan Indonesia sebenarnya merupakan sebuah industri yang sudah matured karena sebagian besar lapangan-lapangan minyak sebagian besar tergolong tua. Sejarah industri perminyakan Indonesia juga sudah berlangsung lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sudah berlangsung cukup lama di Sumatera. Bahkan perusahaan migas Belanda Shell punya jejak yang sangat kuat di Sumatera. Tidak mengherankan bila 70-80 persen lapangan minyak di Indonesia saat ini sudah tergolong uzur. Berbeda dengan minyak, gas bumi eksplorasi dan produksi gas bumi baru muncul belakangan.

Sebuah artikel menarik yang ditulis oleh kantor berita Bloomberg beberapa hari lalu mengingatkan kita atas kondisi industri migas Indonesia. Laporan tersebut berjudul, Draining Indonesia Oil Fields Raise Import Need: South East Asia, dengan jelas menggambarkan kondisi industri migas saat ini. Sebagai contoh, sebuah tanki minyak di lapangan Bekapai, Blok Mahakam, kini dibutuhkan 60 hari untuk mengisi 500.000 barel minyak dalam sebuah tanki. Padahal dulu cuma dibutuhkan 10 hari, demikian laporan Bloomberg mengutip Kristanto Hartadi, juru bicara Total E&P Indonesie.

Lapangan Bekapai merupakan salah satu lapangan tua di Blok Mahakam. Tahun 1978, lapangan Bekapai memproduksi 50.000 barel minyak per hari, tapi sekarang Cuma 7.000 barel per hari, menunjukkan betapa produksi dari lapangan-lapangan tua seperti ini, kini tidak seproduktif dulu. 

Apa dampak bila sebuah lapangan migas memasuki usia uzur? Pertama, biaya semakin mahal untuk memproduksi volume yang sama. Kedua, dibutuhkan teknologi baru untuk menarik minyak dan gas dari perut bumi.

Implikasi lain adalah bahwa Indonesia akan mengimpor lebih banyak minyak dalam tahun-tahun mendatang. BPPT, seperti yang dikutip Bloomberg, akan mengimpor 90% kebutuhan minyak Indonesia tahun 2030. Wow. Tentu situasi ini akan sangat berat karena puluhan triliun rupiah bakal digelontorkan tiap hari untuk membeli minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

Unggul Priyanto, wakil kepala BPPT, mengatakan permintaan minyak yang tinggi serta produksi yang terus menurun memaksa Indonesia untuk meningkatkan impor minyak. Artinya, dalam 1 dekade mendatang, ketergantungan Indonesia pada impor minyak bakal sangat tinggi. 

Produsen minyak memproduksi 804.000 barel minyak per hari tahun 2013, kata J. Widjonarko, Plt. Kepala SKK Migas, yang mengatur sektor hulu minyak dan gas bumi. Ini merupakan level terendah sejak 1969, dibawah target sebesar 870.000. “Kami hanya mengoptimalkan produksi dari cadangan minyak yang ada karena tidak ada penemuan cadangan baru,” kata Widjonarko.

Hanya 72 lapangan migas saat ini yang berproduksi dari 329 Working Areas (WK).  Impor produk minyak (refined products) diperkirakan mencapai 567 juta barel pada tahun 2030, dibanding 172 juta barel tahun 2011. 

Kantor berita tersebut juga melaporkan Indonesia akan mengekspor 10 persen produksi gas bumi tahun 2030, turun dari 46 persen tahun 2011. Sebagian besar produksi gas bumi akan terserap oleh pasar dalam negeri. Impor LNG bakal meningkat menjadi 642 miliar kaki kubik. Tren impor LNG sudah terlihat dengan keputusan pertamina untuk menandatangani kontrak pembelian LNG selama 20 tahun dari Cheniere Energy Inc, Amerika Serikat. 

Response Indonesia
Lalu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap kondisi industri minyak Indonesia? Bila tidak melakukan apa-apa, maka Indonesia bakal menghadapi krisis energi (minyak) yang akut. Harus ada tindakan drastis. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan Indonesia. Pertama, tingkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi, untuk menambah cadangan. Tanpa ada eksplorasi, tak akan ada penambahan cadangan minyak dan gas bumi. Kedua, beralih ke gas bumi dan diversifikasi. Untuk itu diperlukan pembangunan infrastruktur gas bumi yang lebih baik. Diversifikasi sumber energi ke energi baru dan terbarukan. Hal ini sudah mulai dilakukan tapi masih terlihat setengah hati. Ketiga, undang investor migas, baik internasional oil companies (IOCs) maupun nasional untuk meningkatkan investasi di sektor migas, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi. Keempat, mendorong produsen migas utama seperti Chevron, Total E&P Indonesia, BP, Inpex, Pertamina, ExxonMobil, ConocoPhillips, dll untuk meningkatkan investasi—baik untuk eksplorasi maupun produksi/eksploitasi. 

Kelima, ciptakan iklim investasi yang kondusif, termasuk kepastian kontrak-kontrak Blok Migas yang akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Blok Mahakam, walaupun sudah matured, masih bisa dikembangkan lebih lanjut dengan dukungan modal yang besar, teknologi tinggi dan keahlian/pengalamanan. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang operator yang tepat Blok Mahakam pasca 2017. Untuk mengamankan dan mengoptimalkan produksi dan mengurangi risiko, perpanjangan kontrak boleh jadi akan menjadi opsi yang pas. Opsi ideal lainnya adalah menciptakan skema baru, dengan melibatkan operator lama dan mengadopsi masuknya pemain baru, yakni Pertamina. (*)

No comments:

Post a Comment