Wednesday 11 June 2014

Blok Mahakam, Indonesia Pilih Nasionalisasi atau Nasionalisme?

Saat kampanye pemilihan legislatif, isu nasionalisasi aset sempat muncul ke permukaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menuding Calon Presiden tertentu yang menjanjikan nasionalisasi aset asing sebagai jualan untuk menarik simpati publik. Beberapa hari lalu Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik memberi komentar soal desakan kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan nasionalisasi, termasuk aset blok-blok migas yang saat ini sedang dioperasikan oleh kontraktor asing (KKKS). 

Menteri Jero Wacik pun mengakui mendapat tekanan untuk melakukan nasionalisasi, termasuk Blok Mahakam sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir. Kontrak pengelolaan Blok Mahakam akan berakhir pada Maret 2017.

Jero Wacik mengatakan saat ini ada beberapa masukan antara menasionalisasi dan menasionalisme Blok Mahakam. Menteri  ESDM menandaskan bahwa nasionalisasi, berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisasi artinya mengambil alih aset atau menasionalkan. Sementara, nasionalisme adalah pemikiran untuk memberikan keuntungan pada negara. Dia mengakui, ia memang berniat agar dikelola perusahaan nasional, tapi harus dihitung juga manakah yang menguntungkan negara. Yang jelas nasionalisasi dan nasionalisme itu sangat berbeda. Boleh jadi, nasionalisme dalam pengelolaan migas jauh lebih menguntungkan atau memberi manfaat kepada negara dan bangsa.

Terlihat dengan jelas bahwa Menteri ESDM Jero Wacik mempertimbangkan asas manfaat. Nasionalisasi sebuah aset migas tidak menjamin aset tersebut akan memberi manfaat lebih besar kepada negara setelah dinasionalisasi. Bisa jadi, malah hanya menguntungkan sekelompok elit atau perusahaan tertentu. Lihat saja, kasus Newmont dan Kaltim Prima Coal (sekarang Bumi Resources). Dialihkan ke nasional, tapi yang untung adalah perusahaan kelompok Bakrie.

Desakan sekelompok orang untuk menasionalisasi migas dicurigai di-backing oleh pihak-pihak yang berkepentingan (vested interested). Diragukan mereka hanya memanfaatkan isu nasionalisasi sebagai kedok untuk menguntungkan kelompok mereka sendiri. Karena itu, dalam konteks pengelolaan blok-blok migas, patokannya seharusnya memang ‘asas manfaat’. Operator mana yang dapat memberi manfaat lebih besar kepada negara, apakah itu perusahaan asing atau lokal.

Indonesia beruntung karena tersedia berbagai jenis sumber daya energi yang dapat dimanfaatkan, mulai dari minyak, gas bumi, listri, panas bumi maupun berbagai bentuk energi baru dan terbarukan.  Tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya energi selengkap Indonesia. Namun harus diakui, ketersediaan energi terbatas khususnya sumber energi fosil, seperti minyak bumi. Cadangan minyak Indonesia terus menurun yang berujung pada penurunan produksi. Produksi gas bumi stabil tapi berpotensi menurun dimasa mendatang.

Agar produksi minyak bumi tidak turun drastis dan gas bumi tidak menurun diperlukan investasi. Investasi diperlukan untuk meningkatkan produksi dari cadangan yang ada. Investasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi. Investasi diperlukan untuk menjamin ketersediaan berbagai bentuk jenis sumber energi yang dibutuhkan oleh bangsa ini saat ini maupun dimasa mendatang.

Karena itu, sudah bukan zamannya lagi Indonesia menunjukkan sikap anti-asing.  Untuk memajukan industri minyak dan gas bumi (Migas), Indonesia tidak perlu melakukan nasionalisasi industri migas. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam memajukan industri migas nasional agar ketahanan energi (energy security) tercapai. Gerakan anti-asing atau nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri. (*)

No comments:

Post a Comment