Saat kampanye pemilihan legislatif, isu
nasionalisasi aset sempat muncul ke permukaan. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun menuding Calon Presiden tertentu yang menjanjikan nasionalisasi
aset asing sebagai jualan untuk menarik simpati publik. Beberapa hari lalu
Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik memberi komentar soal
desakan kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan nasionalisasi, termasuk aset
blok-blok migas yang saat ini sedang dioperasikan oleh kontraktor asing (KKKS).
Menteri Jero Wacik pun mengakui mendapat tekanan untuk melakukan nasionalisasi, termasuk Blok Mahakam sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir. Kontrak pengelolaan Blok Mahakam akan berakhir pada Maret 2017.
Menteri Jero Wacik pun mengakui mendapat tekanan untuk melakukan nasionalisasi, termasuk Blok Mahakam sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir. Kontrak pengelolaan Blok Mahakam akan berakhir pada Maret 2017.
Jero
Wacik mengatakan saat ini ada beberapa masukan antara menasionalisasi dan
menasionalisme Blok Mahakam. Menteri
ESDM menandaskan bahwa nasionalisasi, berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisasi
artinya mengambil alih aset atau menasionalkan. Sementara, nasionalisme adalah
pemikiran untuk memberikan keuntungan pada negara. Dia
mengakui, ia memang berniat agar dikelola perusahaan nasional, tapi harus dihitung
juga manakah yang menguntungkan negara. Yang jelas nasionalisasi dan
nasionalisme itu sangat berbeda. Boleh jadi, nasionalisme dalam pengelolaan migas
jauh lebih menguntungkan atau memberi manfaat kepada negara dan bangsa.
Terlihat
dengan jelas bahwa Menteri ESDM Jero Wacik mempertimbangkan asas manfaat.
Nasionalisasi sebuah aset migas tidak menjamin aset tersebut akan memberi
manfaat lebih besar kepada negara setelah dinasionalisasi. Bisa jadi, malah
hanya menguntungkan sekelompok elit atau perusahaan tertentu. Lihat saja, kasus
Newmont dan Kaltim Prima Coal (sekarang Bumi Resources). Dialihkan ke nasional,
tapi yang untung adalah perusahaan kelompok Bakrie.
Desakan
sekelompok orang untuk menasionalisasi migas dicurigai di-backing oleh pihak-pihak yang berkepentingan (vested interested).
Diragukan mereka hanya memanfaatkan isu nasionalisasi sebagai kedok untuk
menguntungkan kelompok mereka sendiri. Karena itu, dalam konteks pengelolaan
blok-blok migas, patokannya seharusnya memang ‘asas manfaat’. Operator mana
yang dapat memberi manfaat lebih besar kepada negara, apakah itu perusahaan
asing atau lokal.
Indonesia beruntung karena tersedia berbagai
jenis sumber daya energi yang dapat dimanfaatkan, mulai dari minyak, gas bumi,
listri, panas bumi maupun berbagai bentuk energi baru dan terbarukan.
Tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya energi selengkap
Indonesia. Namun harus diakui, ketersediaan energi terbatas khususnya sumber
energi fosil, seperti minyak bumi. Cadangan minyak Indonesia terus menurun yang
berujung pada penurunan produksi. Produksi gas bumi stabil tapi berpotensi
menurun dimasa mendatang.
Agar produksi minyak bumi tidak turun drastis dan gas bumi tidak menurun diperlukan investasi. Investasi diperlukan untuk meningkatkan produksi dari cadangan yang ada. Investasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi. Investasi diperlukan untuk menjamin ketersediaan berbagai bentuk jenis sumber energi yang dibutuhkan oleh bangsa ini saat ini maupun dimasa mendatang.
Karena itu, sudah
bukan zamannya lagi Indonesia menunjukkan sikap anti-asing. Untuk memajukan industri minyak dan gas bumi
(Migas), Indonesia tidak perlu
melakukan nasionalisasi industri migas.
Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam
memajukan industri migas nasional agar ketahanan
energi (energy security) tercapai. Gerakan anti-asing atau
nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri. (*)
No comments:
Post a Comment