Perdebatan
mengenai operator Blok Mahakam pasca 2017 kembali mencuat ke permukaan
minggu lalu. Saat ini masih ada dua kubu utama mengenai siapa yang terbaik
menjadi operator blok Mahakam, yaitu, pihak yang menginginkan Blok Mahakam
dioperasikan oleh perusahaan nasional, dalam hal ini Pertamina, dan existing operator yakni Total E&P
Indonesie, yang bermitra dengan raksasa perusahaan migas Jepang Inpex. Namun,
ada pihak lainnya yang menginginkan agar Blok Mahakam dikelola lebih baik lagi,
dengan mengadopsi skema semacam joint-operating
dengan melibatkan operator lama dan pemain baru. Tujuannya, tentu saja untuk
memastikan produksi Blok Mahakam terus belanjut dan bahkan bisa lebih optimal. Boleh jadi opsi ketiga ini menjadi opsi terbaik.
Pihak
yang menginginkan Blok Mahakam dikelola oleh perusahaan nasional lebih karena
faktor emosi dan spirit nasionalisme sempit. Berbagai pihak memanfaatkan semangat nasionalisme agar
pengelolaan Blok Mahakam dialihkan ke pihak atau perusahaan nasional. Membangkitkan gelora nasionalisme ini boleh-boleh saja,
asalkan diarahkan ke saluran yang tepat. Jangan sampai semangat nasionalisme
ini hanya dijadikan kamuflase atau alat saja untuk mendapatkan simpati dan
dukungan publik.
Siapa yang menyangka, atas nasionalisme, hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengetok palu membubarkan BP Migas, misalnya? Banyak yang kemudian bertepuk tangan, tapi berdampak pada menciptakan kekacauan hukum di industri migas. Atas nama 'nasionalisme' beberapa pejabat Republik ini mengeruk ratus miliar duit rakyat yang dia kumpulkan secara tidak halal. Nasionalisme diperjual-belikan.
Siapa yang menyangka, atas nasionalisme, hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengetok palu membubarkan BP Migas, misalnya? Banyak yang kemudian bertepuk tangan, tapi berdampak pada menciptakan kekacauan hukum di industri migas. Atas nama 'nasionalisme' beberapa pejabat Republik ini mengeruk ratus miliar duit rakyat yang dia kumpulkan secara tidak halal. Nasionalisme diperjual-belikan.
Pada
era sebelum merdeka, semangat nasionalisme yang membara sangat dibutuhkan
Indonesia. Para pejuang kemerdekaan bersama seluruh elemen masyarakat berjuang
dengan caranya sendiri untuk mengusir penjajah. Tugas kita sebagai generasi
penerus adalah mengisi kemerdekaan, tentu saja dengan cara masing-masing.
Setiap orang dapat saja menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing. Ukurannya,
tentu saja seberapa besar kontribusi kita bagi nusa dan bangsa. Seorang pekerja
LSM sebuah lembaga tidak bisa mengklaim dia lebih nasionalis dan lebih dari
seorang pahlawan dibanding misalnya seorang pekerja di perusahaan migas di
lepas pantai Jawa Timur.
Definisi
pahlawan tidak lagi apakah seseorang terlibat aktif dalam memerangi penjajah. Pahlawan
dan nasionalisme modern adalah seberapa jauh kita berjuang memberi yang terbaik
bagi kepentingan bangsa. Dalam
konteks pengelolaan sebuah blok migas, semangat nasionalisme bisa juga
digelorakan. Nasionalisme Yes,
Nasionalisasi No. Apa artinya sebuah sumber daya alam, katakanlah
pertambangan, perkebunan, atau lapangan migas, dikelola oleh warga negara, tapi
justru merusak alam dan bahkan hasilnya dikorupsi? Lihat misalnya Lapindo,
sebagian besar ahli geologi masih mengklaim, luapan atau semburan lumpur
lapindo merupakan akibat error
pengeboran. Dampaknya semua kita tahu, puluhan ribu warga kehilangan rumah,
sawah, kebun dan tempat tinggal.
Apakah
perusahaan swasta nasional, milik warga Indonesia, yang membakar hutan di Riau,
Jambi dan Kalimantan, lebih baik dari sebuah perusahaan global yang
berinvestasi di Indonesia dan menciptakan ribuan tenaga kerja dan patuh
membayar pajak? Dewasa ini banyak pihak yang meniupkan isu nasionlisasi dan
nasionalisme tidak pada tempatnya dan terkadang hanya digunakan sebagai
kamuflase untuk memenuhi ambisi pribadi dan untuk kepentingan sendiri. Terkadang rakyat dimanfaatkan atau obyek penderita.
Karena
itu, dalam memutuskan operator blok Mahakam, pemerintah perlu hati-hati. Evaluasi mendalam perlu dilakukan agar keputusan dibuat demi kebaikan dan
kepentingan bangsa. Operator Blok Mahakam harus dapat menjamin kelangsugan
produksi dan bahkan lebih optimal, mengurangi dan menangani setiap risiko yang
muncul serta punya komitmen untuk berinvestasi baik untuk eksplorasi dan
meningkatkan produksi. Tidak pada tempatnya lagi kita melihat apakah harus
perusahaan lokal/nasional atau perusahaan asing. Perusahaan yang pantas
mengelola blok migas (termasuk Blok Mahakam) adalah perusahaan yang
berkompeten, entah asing atau lokal. Apa artinya sebuah perusahaan nasional,
tapi tercemar praktek-praktek korupsi dan gratifikasi serta tidak menerapkan good corporate governance?
Pemerintah
telah memiliki tiga opsi terkait operatorship Blok Mahakam pasca 2017,
operatorship tidak diperpanjang dan kemudian diserahkan ke perusahaan nasional,
diperpanjang dan operator yang sekarang dipersilahkan melanjutkan pengelolaan
blok Mahakam, dan opsi ketiga kolaborasi operator lama dan baru.
Operator
yang sekarang, Total E&P Indonesie bersama Inpex, telah mengajukan
keinginan agar operatorsip diperpanjang. Pada saat yang sama Pertamina dan
belakangan beberapa perusahaan nasional tertarik untuk ikut berpartisipasi.
Boleh jadi, opsi ketiga ini dapat menjadi opsi terbaik. Manfaatnya tentu
banyak, operator baru tidak perlu mulai dari nol lagi karena masih ada operator
lama. Pada periode tertentu dapat saja operator tetap sama, tapi beberapa tahun
kemudian operator dapat beralih ke perusahaan nasional. Manfaat lainnya, kisruh
atau gejolak internal dapat dihindari karena bakal tidak banyak terjadi
perubahan culture dan sistem kerja. Kolaborasi juga dapat mempercepat proses
transfer teknologi, apalagi Indonesia saat ini masih tertinggal dalam hal
teknologi industri minyak dan gas bumi.
Beberapa
kelompok masyarakat menginginkan Pertamina langsung menjadi operator. Namun,
pemerintah perlu mempertimbangkan risiko yang bakal dialami. Bukan kita
mengecilkan kemampuan Pertamina, tapi tujuannya agar tidak terjadi disruption pada pengelolaan Blok
Mahakam. Pengelolaan sebuah blok migas memiliki risiko yang tinggi. Demikian
juga Blok Mahakam, ada risiko bawaan yang harus dan perlu diantisipasi dan
diatasi oleh operator.
Pertanyaannya,
mampukah perusahaan nasional mengatasi dan mengelola risiko yang bakal
terjadi? Perusahaan migas harus mampu
mengelola risiko dan bila perlu menekan ke titik zero. Tingkat kecelakaan kerja
harus ditekan ke titik nol.
Menteri
BUMN Dahlan Iskan beberapa waktu lalu mengakui masih banyak warga Indonesia
yang masih meragukan kemampuan Pertamina. Dahlan Iskan sendiri mulai yakin akan
kemampuan Pertamina. Tapi kita juga tidak bisa salahkan sebagian besar publik
yang masih meragukan kemampuan Pertamina, apalagi bila melihat Pertamina yang
tertinggal jauh di belakang Petronas, misalnya.
Banyak
kemajuan yang dicatat Pertamina, tapi masih banyak PR yang harus dikerjakan dan
ditingkatkan. Ketidakefisienan operasional masih terjadi di sana-sini, baik di
hulu maupun di hilir. BUMN Migas itu juga terkadang dan bahkan sering dijadikan
sapi perahan oleh pihak-pihak tertentu yang mengekang laju dan perkembangan
perusahaan. Praktek-praktek kotor, korupsi, kolusi dan nepotisme, masih belum
sepenuhnya hilang. Warisan Orba masih ada. Isu kecelakaan kerja (safety) masih
menjadi tanda tanya dengan melihat berbagai kecelakaan yang menimpa BUMN Migas
itu dalam beberapa bulan atau tahun terakhir.
Pertamina
memiliki keterbatasan baik dari sisi kapital dan teknologi dan kemampuan
mengelola blok migas. Indonesia tak perlu malu untuk belajar dan berkolaborasi
dengan perusahaan-perusahaan migas skala dunia. Dari sisi kemampuan
berproduksi, tahun 2013 saja, produksi minyak dan gas Pertamina di bawah target
yang ditetapkan. Tahun 2013, misalnya, Pertamina memproduksi
465.200 barel setara minyak, hanya naik 0,8 persen dibanding target sebesar
535.820 barel setara minyak. Produksi
masih jauh dari target.
Dalam membangun kilang minyak,
Pertamina membutuhkan mitra dalam. Membangun kilang minyak membutuhkan biaya
ratusan triliun rupiah, karena itu wajar Pertamina perlu mitra. Demikian juga
di sektor hulu, Pertamina perlu berkolaborasi dengan perusahaan migas global
(IOC) dalam mengelola sebuah blok migas untuk mengurangi risiko (sharing risks), apalagi blok mengelola
blok yang memiliki tingkat kompleksitas operasional dan risiko yang tinggi,
seperti blok Mahakam. Dengan
demikian, publik yang meragukan kemampuan Pertamina tidak bisa disalahkan,
apalagi untuk urusan mengelola blok-blok migas yang kompleks seperti East
Natuna dan Blok Mahakam. (*)
No comments:
Post a Comment