Monday 24 February 2014

Blok Mahakam dan Para Politisi, Antara Bekerja dan Talk Only

Sebuah anjungan minyak dan gas lepas pantai
Di kantor sebuah perusahaan minyak dan gas bumi di Jakarta, kegiatan rutin dilakukan. Anto, seorang drilling manager, melakukan morning meeting dan conference call dengan koleganya, baik yang kantor maupun para para pekerja dan insinyur di lapangan. Agenda utama, adalah menyiapkan logistik dan memastikan rencana kick-off drilling di sebuah lokasi lepas pantai dapat dilakukan segera sesuai rencana. Semua aspek dibahas, baik aspek teknis dan non-teknis, aspek perizinan dari pemerintah daerah, sosialisasi dengan masyarakat, dan lain-lain.

Mereka juga melakukan pengecekan untuk memastikan semua tahapan-tahapan, semua persyaratan telah dilewati dan dilakukan, sehingga rencana dan program drilling dapat dilakukan tepat waktu. Mereka memahami, pekerjaan yang sukses, diawali dengan perencanaan yang matang. Mereka memastikan semua pekerjaan dilakukan dan mematuhi Standard Operating Procedure (SOP) dan sesuai dengan ketentuan internal maupun eksternal atau peraturan pemerintah.

Aktivitas seperti ini dapat kita temui di kantor-kantor perusahaan migas. Sebagian besar kantor pusat berada di Jakarta, namun, mereka memiliki wilayah operasional di berbagai pelosok tanah air, dengan segala tantangan-tantangannya, termasuk kurangnya infrastruktur pendukung di wilayah kerja (WK) migas. Kurangnya infrastruktur pendukung sangat dirasakan terlebih untuk WK di kawasan timur Indonesia, apalagi WK berada di kawasan remote atau frontier.

Berbeda dengan para pekerja migas yang bekerja dan bekerja, melakukan eksplorasi minyak dan gas bumi, atau memproduksi minyak dan gas bumi untuk mendukung ekonomi nasional, para politisi hanya berkoar-koar, memberi janji palsu kepada masyarakat.  Terkadang, dan bahkan sering, apa yang diucapkan tidak dipahami. Mereka sering tidak memahami dan mengetahui pengetahuan yang cukup tentang suatu subyek.

Lihatlah misalnya perdebatan para bakal calon presiden dari Partai Demkorat. Para bakal calon Presiden ini melakukan debat kusir dari satu kota ke kota yang lain. Mereka mencoba menarik perhatian publik, tapi tampaknya para politisi Partai Demokrat ini gagal menarik perhatian publik. Ini terlihat dari berbagai survei yang dilakukan belakangan ini.

Tokoh-tokoh yang menjadi calon presiden pun tidak menarik perhatian publik. Tema yang diusung pun sering out of touch. Sebagai contoh isu korupsi. Isu korupsi yang menjadi masalah utama hanya menjadi isu pinggiran (marginal), tidak menjadi isu utama. Apakah ini akibat terlalu banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan begitu banyak kader-kader Partai Demokrat? Sebagian sudah menginap di hotel prodeo, sebagian sedang menjalani proses pemeriksaan dan menginap di hotel prodeo KPK dan sebagian lagi sedang menanti atau berpotensi menginap di hotel prodeo.

Yang terlibat korupsi, tentu bukan hanya politisi atau kader-kader PD, tapi juga partai-partai lain, seperti PKS yang terlibat kasus impor sapi, kader-kader partai Golkar, antara lain, Ratu Atut, gubernur Banten yang kini, terpaksa menginap di hotel prodeo KPK karena terlibat kasus korupsi. Parahnya, anggota keluarganya pun ikut terseret seperti Wawan, suami Airin, Walikota Tangerang Selatan. Kasus-kasus korupsi ini telah memukul Partai Keadilan Sosial (PKS) dan Golkar. Demikian juga, dengan partai-partai lain. Beberapa kader partai PDI Perjuangan (PDIP) juga terlibat kasus korupsi. Rasa-rasanya sulit untuk menemukan partai yang bersih.

Kita sebagai pemegang saham Republik ini tentu merasa prihatin yang mendalam dengan situasi ini. Kita juga mengecam para politisi yang hanya ngomong doang, menjual tidak pada tempatnya, sekadar untuk menarik perhatian publik. Pengelolaan sebuah blok migas, tidak seharusnya dijadikan komoditas politik. Mengelola sebuah blok migas, apalagi blok-blok migas yang kompleks, seperti blok Mahakam, blok Masela, blok East Natuna, atau blok-blok yang berada di laut dalam, sebaiknya diserahkan ke ahlinya yang lebih memahami dan berkompeten. Tapi itulah wajah politik Indonesia saat ini.

Saat para pekerja, termasuk pekerja industri migas, berusaha, bekerja, para politisi hanya berkoar-koar, ngibulin rakyat saja. Rakyat hanya diperhatikan atau pura-pura diperhatikan saat jelang pemilu seperti sekarang ini. Para politisi atau calon presiden PD, misalnya, akhir pekan lalu, mencoba menjual isu Blok Mahakam, dalam perdebatan mereka. Pengelolaan sebuah blok dijadikan isu untuk menarik simpati publik.

Kita tidak tahu, entah blok migas mana lagi yang bakal  'dijual' sebagai komoditas politik.

Namun, upaya para politisi tersebut tampaknya gagal.  Publik lewat media-media online malah menyindir dengan mengatakan, lebih baik para politisi tersebut mengurus dan membersihkan internal partai dulu, sebelum mengurus kepentingan publik. Hapus dulu praktek-praktik korupsi, baru setelah itu berbicara isu-isu lain.

Sebagai warga negara, kita memberi apresiasi terhadap perusahaan-perusahaan swasta yang tetap komit dengan pekerjaannya, termasuk perusahaan dan pekerja migas. Beberapa perusahaan dan investor migas, tetap melanjutkan upaya dan program mereka melakukan eksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi. Mereka berupaya mendukung upaya pemerintah untuk mengatasi krisis energi. Gas bumi tersebut antara lain dikirim ke PLN untuk memproduksi listrik, yang kemudian dikirim ke rumah-rumah warga, termasuk rumah para politisi ini.

Salah satu perusahaan migas yang tetap komit melakukan eksplorasi tersebut adalah Total E&P Indonesie, perusahaan migas raksasa asal Perancis. Blok Mahakam, yang dikelola Total hingga 2017, tetap bekerja secara profesional walaupun jadi ‘obyek jualan’ para politisi. Seperti yang diberitakan di beberapa media beberapa waktu lalu, perusahaan ini akan melakukan eksplorasi di lepas pantai (laut dalam) Mentawai, Sumatera Barat. Sekitar US$40 juta (atau sekitar Rp400 miliar lebih) dana digunakan untuk kegiatan eksplorasi tersebut.

Perusahaan migas Italia ENI juga baru-baru ini dilaporkan akan melakukan eksplorasi serta mengembangkan proyek laut dalam di Selat Makassar. Beberapa perusahaan telah ditunjuk untuk mengembangkan proyek Eni di Selat Makassar tersebut, yang diperkirakan bakal mulai berproduksi tahun 2017.

Perusahaan-perusahaan seperti Total dan ENI merupakan perusahaan kelas dunia yang dikontrak pemerintah Indonesia untuk mengerjakan proyek-proyek raksasa dan yang kompleks. Perusahaan-perusahaan migas global (IOC) berani mengambil risiko berinvestasi mulai dari ratusan miliar hingga puluhan triliun rupiah untuk mengeksplorasi maupun produksi minyak. Hasil produksi mereka, termasuk gas bumi, digunakan oleh perusahaan-perusahaan di tanah air, termasuk PLN dan industri keramik di tanah air.

Partisipasi perusahaan swasta, entah nasional atau international, patut diapresiasi. Indonesia yang welcome terhadap masuknya investasi asing, selayaknya tidak melakukan anti-asing atau anti kehadiran perusahaan-perusahaan asing. Yang paling penting sebenarnya, seberapa besar dan seberapa optimal sebuah perusahaan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan ekonomi Indonesia. 

Kita prihatin dan mengecam para politisi yang hanya berkoar-koar masalah yang mereka sendiri tidak pahami, sekadar untuk kepentingan sendiri. Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin dan para politisi untuk berjuang dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menjadikan rakyat sebagai alat untuk memperkaya diri. (*)


4 comments:

  1. Mana yg lebih baik, Blok Mahakam dikelola oleh operator yg sekarang, yakni Total E&P Indonesia atau diserahkan ke operator baru?

    ReplyDelete
  2. Bagi saya, tidak penting siapa yang mengelola. Yg terpenting produksi Blok Mahakam terus berlanjut, dan memberikan kontribusi lebih kpd negara/bangsa. Operator harus bisa meyakinkan 240 jt penduduk Indonesia bhw dia punya kemampuan utk mempertahankan dan bahkan meningkatkan lagi produksi Blok Mahakam.

    ReplyDelete
  3. Terkait operator blok Mahakam setelah 2017, kita berharap pemerintah akan membuat keputusan bijak dan terbaik bagi bangsa, Bukan atas dasar tekanan politik, yg hasilnya bisa menjadi bumerang bagi bangsa. Tolok ukurnya, operator dpt menjamin produksi Blok Mahakam dpt terus berlanjut dan bahkan lebih optimal, shg berkontribusi lebih besar lagi bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Bila diserahkan ke operator baru, bisa2 produksi langsung anjlok. Ini hrs dipertimbangkan pemerintah.

    ReplyDelete
  4. Di media2 kita dengar Pertamina ingin jadi operator blok Mahakam. Pertanyaannya, apakah efisien Pertamina menginvestasi di blok yg sudah tua? Apa manfaatnya bagi pemerintah? Bukankah lebih baik dana US$2-3 miliar setiap thn investasi, dialokasikan ke blok2 Pertamina yg masih idle? Dari kacamata pemerintah, tdk ada manfaat lebihnya dan tak ada nilai tambah apa2 bila Pertamina kelola Blok Mahakam. Bisa jadi produksi jg turun dalam 2-3 thn pertama, dan tentu merugikan pemerintah sendiri. Dampak lain, pemerintah akan kehilangan potensi masuknya investasi besar utk pengembangan lanjutan blok tua tsb.

    ReplyDelete