Pipa Angguk |
Berbeda dengan sebelum reformasi 1998, saat
ini isu perpanjangan dan tidak perpanjangan blok migas diwarnai oleh
tarik-menarik kepentingan politik. Perusahaan daerah, kelompok-kelompok
masyarakat turut menuntut kepada pemerintah agar aspirasinya didengarkan. Dalam
kasus Blok Siak dan Blok Kampar misalnya, pemerintah daerah, kelompok-kelompok
masyarakat menuntut pemerintah pusat agar daerah ikut dilibatkan menjadi
pemegang hak kepesertaan (participating interest) pada kontrak baru.
CPI sendiri jauh-jauh hari telah mengajukan
kepada pemerintah bahwa perusahaan migas yang menjadi produsen minyak terbesar
Indonesia tersebut tertarik untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok Siak.
Pengajuan perpanjangan pun telah diajukan beberapa tahun lalu. Pada saat yang
sama, Pertamina juga telah menyatakan minatnya untuk mengelola Blok Siak.
Sementara Medco, pada awalnya tidak secara tegas ingin memperpanjang kontrak
pengelolaan Blok Kampar, tapi belakangan perusahaan milik Arifin Panigoro
tersebut menyatakan ingin melepas blok Kampar.
CPI seperti
yang diucapkan oleh juru bicara perusahaan tersebut kecewa dengan keputusan
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Namun, perusahaan tersebut dapat menerima keputusan pemerintah.
Blok
Siak sebetulnya tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional.
Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel
per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar
320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron
masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.
CPI
sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih
bernama PT California Texas Indonesia.
CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat
ini belum diputuskan pemerintah.
Walaupun
produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak
mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi
pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan
dapat dioptimalkan. Jadi, tetap saja pantas CPI kecewa dengan keputusan
pemerintah.
Keputusan pemerintah tersebut menarik untuk disimak. Kritik yang muncul adalah soal timing keputusan. Pemerintah, khususnya Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sangat telat membuat keputusan,
yakni sehari setelah kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat jauh
sebelum kontrak berakhir. Ini memberikan sinyal yang buruk bagi
ketidakpastian usaha.
Walaupun blok Siak tergolong blok kecil dengan produksi 2000 barel minyak per hari, tetap saja, terlambatnya keputusan tersebut tetap dinilai tidak tepat. Bagamana misalnya keputusan tersebut dibuat untuk blok-blok besar seperti blok Mahakam? Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator baru maupun lama punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi karena investasi di industri migas bersifat jangka panjang.
Walaupun blok Siak tergolong blok kecil dengan produksi 2000 barel minyak per hari, tetap saja, terlambatnya keputusan tersebut tetap dinilai tidak tepat. Bagamana misalnya keputusan tersebut dibuat untuk blok-blok besar seperti blok Mahakam? Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator baru maupun lama punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi karena investasi di industri migas bersifat jangka panjang.
Pertanyaan yang muncul
adalah apakah keputusan pemerintah tersebut dibuat murni atas hasil evaluasi
independen dan mendalam, atau lebih kepada pertimbangan sosial politik,
mengingat semakin maraknya gerakan nasionalisasi industri migas belakangan ini?
Seperti yang terlihat belakangan, sebagian kelompok atau elemen masyarakat
menggunakan sentimen atau alasan nasionalisasi untuk mendesak pemerintah tidak
memperpanjang kontrak-kontrak blok minyak dan gas yang kontraknya berakhir.
Bila keputusan pemerintah dibuat berdasarkan
hasil evaluasi independen dan mendalam serta mempertimbangkan faktor
kepentingan bangsa, maka keputusan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. Namun,
bila keputusan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan sosial politik, maka keputusan
patut dipertanyakan. Bila itu yang terjadi, artinya pemerintah membiarkan
dirinya tunduk pada desakan kepentingan-kepentingan kelompok dan elemen
masyarakat untuk menasionalisasi industri migas. Kondisi ini akan menjadi
sinyal buruk bagi investasi dan pengembangan industri migas kedepan, apalagi
saat ini Indonesia masih membutuhkan investasi besar untuk eksplorasi maupun
untuk produksi migas.
Kemungkinan lain, pemerintah melihat Blok
Siak bisa dikelola oleh Perusahaan nasional. Artinya, untuk blok-blok tertentu
tidak diperpanjang, namun untuk blok-blok lain diperpanjang atau pemerintah
akan membentuk skema operatorship baru. Pelaku industri migas berharap
pemerintah lebih bijak dan jeli dalam membuat keputusan terkait kontrak
blok-blok migas, terutama blok migas yang berskala besar seperti Blok Mahakam.
Apapun keputusan pemerintah, pengelola blok
tersebut harus dapat memberi kontribusi lebih banyak ke negara. Untuk blok
Mahakam, bila pemerintah ingin melibatkan operator lama dan baru, maka
keputusan tsb berdasarkan pertimbangan optimalisasi dan kontribusi bagi negara.
Pemerintah harus pastikan negara akan mendapatkan lebih banyak berdasarkan
skema kontrak baru.
Pelaku industri migas berharap pemerintah bijak dan tegas dalam
membuat keputusan, mana yang terbaik bagi perkembangan industri migas nasional
selanjutnya yang saat ini dan kedepannya membutuhkan investasi besar. Jangan
sampai keputusan dibuat dengan tujuan nasionalisasi
industri migas, tetapi lebih untuk kemajuan industri migas nasional. Bila tujuannya adalah untuk menasionalisasi industri migas (resources nationalism) maka ini akan membuat investor minggat dari Indonesia dan justru akan merugikan Indonesia. Industri migas merupakan industri yang membutuhkan investasi besar dan teknologi. Indonesia tetap membutuhkan investor besar (IOC) masuk, dan pada saat yang sama mendorong industri migas nasional berkembang. (*)
No comments:
Post a Comment