Monday 2 December 2013

Indonesia Tak Perpanjang Kontrak Blok Siak, Peringatan Terhadap Upaya Nasionalisasi?

Pipa Angguk
Setelah ditunggu-tunggu cukup lama, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan nasib pengelolaan Blok Siak dan Blok Kampar, yang dikelola oleh masing-masing PT Chevron Pacific Indonesia dan PT Medco Energi. Pemerintah tidak memperpanjang kontrak kedua blok tersebut. Untuk sementara, kedua operator tersebut tetap mengelola kedua blok hingga enam bulan sebagai masa transisi, baru kemudian diserahkan ke Pemerintah Indonesia. Pemerintah selanjutnya akan menyerahkan pengelolaan kedua blok tersebut ke perusahaan minyak dan gas negara Pertamina. Keputusan tersebut diumumkan satu hari setelah deadline kontrak berakhir yakni 27 November 2013.

Berbeda dengan sebelum reformasi 1998, saat ini isu perpanjangan dan tidak perpanjangan blok migas diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan politik. Perusahaan daerah, kelompok-kelompok masyarakat turut menuntut kepada pemerintah agar aspirasinya didengarkan. Dalam kasus Blok Siak dan Blok Kampar misalnya, pemerintah daerah, kelompok-kelompok masyarakat menuntut pemerintah pusat agar daerah ikut dilibatkan menjadi pemegang hak kepesertaan (participating interest) pada kontrak baru.

CPI sendiri jauh-jauh hari telah mengajukan kepada pemerintah bahwa perusahaan migas yang menjadi produsen minyak terbesar Indonesia tersebut tertarik untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok Siak. Pengajuan perpanjangan pun telah diajukan beberapa tahun lalu. Pada saat yang sama, Pertamina juga telah menyatakan minatnya untuk mengelola Blok Siak. Sementara Medco, pada awalnya tidak secara tegas ingin memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Kampar, tapi belakangan perusahaan milik Arifin Panigoro tersebut menyatakan ingin melepas blok Kampar.

CPI seperti yang diucapkan oleh juru bicara perusahaan tersebut kecewa dengan keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, perusahaan tersebut dapat menerima keputusan pemerintah.

Blok Siak sebetulnya tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional. Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar 320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.

CPI sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih bernama PT California Texas Indonesia.  CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat ini belum diputuskan pemerintah. 

Walaupun produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan dapat dioptimalkan. Jadi, tetap saja pantas CPI kecewa dengan keputusan pemerintah.

Keputusan pemerintah tersebut menarik untuk disimak. Kritik yang muncul adalah soal timing keputusan. Pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sangat telat membuat keputusan, yakni sehari setelah kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat jauh sebelum kontrak berakhir. Ini memberikan sinyal yang buruk bagi ketidakpastian usaha. 

Walaupun blok Siak tergolong blok kecil dengan produksi 2000 barel minyak per hari, tetap saja, terlambatnya keputusan tersebut tetap dinilai tidak tepat. Bagamana misalnya keputusan tersebut dibuat untuk blok-blok besar seperti blok Mahakam? Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator baru maupun lama punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi karena investasi di industri migas bersifat jangka panjang.


Pertanyaan yang muncul adalah apakah keputusan pemerintah tersebut dibuat murni atas hasil evaluasi independen dan mendalam, atau lebih kepada pertimbangan sosial politik, mengingat semakin maraknya gerakan nasionalisasi industri migas belakangan ini? Seperti yang terlihat belakangan, sebagian kelompok atau elemen masyarakat menggunakan sentimen atau alasan nasionalisasi untuk mendesak pemerintah tidak memperpanjang kontrak-kontrak blok minyak dan gas yang kontraknya berakhir.

Bila keputusan pemerintah dibuat berdasarkan hasil evaluasi independen dan mendalam serta mempertimbangkan faktor kepentingan bangsa, maka keputusan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. Namun, bila keputusan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan sosial politik, maka keputusan patut dipertanyakan. Bila itu yang terjadi, artinya pemerintah membiarkan dirinya tunduk pada desakan kepentingan-kepentingan kelompok dan elemen masyarakat untuk menasionalisasi industri migas. Kondisi ini akan menjadi sinyal buruk bagi investasi dan pengembangan industri migas kedepan, apalagi saat ini Indonesia masih membutuhkan investasi besar untuk eksplorasi maupun untuk produksi migas.

Kemungkinan lain, pemerintah melihat Blok Siak bisa dikelola oleh Perusahaan nasional. Artinya, untuk blok-blok tertentu tidak diperpanjang, namun untuk blok-blok lain diperpanjang atau pemerintah akan membentuk skema operatorship baru. Pelaku industri migas berharap pemerintah lebih bijak dan jeli dalam membuat keputusan terkait kontrak blok-blok migas, terutama blok migas yang berskala besar seperti Blok Mahakam.

Apapun keputusan pemerintah, pengelola blok tersebut harus dapat memberi kontribusi lebih banyak ke negara. Untuk blok Mahakam, bila pemerintah ingin melibatkan operator lama dan baru, maka keputusan tsb berdasarkan pertimbangan optimalisasi dan kontribusi bagi negara. Pemerintah harus pastikan negara akan mendapatkan lebih banyak berdasarkan skema kontrak baru.

Pelaku industri migas berharap pemerintah bijak dan tegas dalam membuat keputusan, mana yang terbaik bagi perkembangan industri migas nasional selanjutnya yang saat ini dan kedepannya membutuhkan investasi besar. Jangan sampai keputusan dibuat dengan tujuan nasionalisasi industri migas, tetapi lebih untuk kemajuan industri migas nasional. Bila tujuannya adalah untuk menasionalisasi industri migas (resources nationalism) maka ini akan membuat investor minggat dari Indonesia dan justru akan merugikan Indonesia. Industri migas merupakan industri yang membutuhkan investasi besar dan teknologi. Indonesia tetap membutuhkan investor besar (IOC) masuk, dan pada saat yang sama mendorong industri migas nasional berkembang. (*)

No comments:

Post a Comment