Thursday, 21 November 2013

Peran Gas Bumi dalam Perekonomian Indonesia dan Blok Mahakam

Siang itu, saat menunggu pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, secara tak sengaja saya bertemu dengan mantan rekan kerja saya. Sambil menunggu pesawat kami menyeruput kopi di sebuah kedai kopi di bandara tersebut. Rekan saya rupanya hendak berangkat dinas lagi ke Brasil untuk kembali bekerja di sebuah proyek lapangan minyak lepas pantai di negara tersebut. Belakangan memang cukup banyak insinyur-insinyur Indonesia yang bekerja di luar negeri, baik di Timur Tengah, Afrika maupun di Amerika Selatan. Ketiga kawasan itu, memang sedang giat-giatnya mengembangkan proyek-proyek minyak dan gas bumi.
 
Sambil membuka-buka lembaran koran, mata saya tertuju pada sebuah berita, bahwa era minyak sudah lewat, saatnya era gas bumi. Berita di salah satu media nasional tersebut mengutip salah satu pejabat SKK Migas, yang mengatakan bahwa Indonesia kini dan kedepan boleh berharap pada produksi gas bumi, sementara produksi minyak bakal terus menurun secara alamiah. Hasil pengeboran beberapa tahun belakangan, kata pejabat itu, lebih banyak gas bumi yang diperoleh ketimbang minyak. 

Proyek-proyek besar kedepan juga lebih banyak merupakan proyek gas bumi seperti Blok Masela (Inpex dan Shell), Blok East Natuna (Pertamina), proyek LNG Senoro (Medco dan Mitsubishi), IDD, train 3 BP, juga akan memproduksi gas bumi, dengan pengecualian Blok Cepu. Indonesia kini hanya berharap produksi Blok Cepu untuk menambah produksi minyak. Namun, dalam 10 tahun terakhir tidak ada penemuan cadangan minyak terbukti sekelas Cepu. Penemuan cadangan minyak terbukti terbesar dan terakhir adalah Blok Cepu.

Kami pun terlibat diskusi ringan sambil menyeruput kopi Toraja hangat. Kolega saya itu bercerita bahwa Brasil dalam 10 tahun terakhir begitu giat melakkan eksplorasi di lepas pantai, yang sebagian besar tergolong lapangan laut dalam. Dan upaya tersebut telah membuahkan hasil. Produksi minyak Brasil kini melonjak dan beberapa lembaga memperkirakan Brasil bakal menjadi produsen minyak ke-6 terbesar di dunia, bila proyek-proyek yang sedang berjalan sudah mulai beroperasi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Cadangan minyak terbukti Indonesia saat ini hanya sebesar 3,7 miliar barel. Cadangan tersebut, bila tidak ada tambahan baru, bakal habis 10-12 tahun lagi. Bila tidak ada tambahan cadangan, maka bersiap-siaplah Indonesia untuk mengimpor minyak 100%. Tentu saja ini tidak sehat bagi keuangan negara dan kestabilan ekonomi karena sewaktu-waktu ekonomi terancam gejolak bila harga minyak dunia naik. Lain soal bila produksi minyak dalam negeri masih cukup signifikan, sehingga kenaikan harga minyak tidak terlalu berdampak pada keuangan negara (APBN). 

Cadangan gas bumi, dalam 30-40 tahun juga bakal habis bila tidak ada tambahan cadangan baru. Namun, potensi Indonesia sebetulnya masih ada karena baru 60 dari 130 cekungan (basin) yang baru dieksplorasi. Masih ada separuh lagi yang belum tersentuh atau dieksplorasi. Ini merupakan peluang bagi perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi. Persoalannya, sebagian besar cekungan tersebut berada di lepas pantai dan laut dalam serta tergolong daerah frontier. Mengeksplorasi kawasan itu tentu berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar. 

Disini sebetulnya pemerintah dapat berperan, yakni memberikan insentif kepada perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi di laut dalam dan daerah-daerah frontier. Disamping itu, perusahaan eksplorasi seharusnya tidak diberi beban pajak (PBB) untuk Working Area yang masih dalam proses pengembangan atau eksplorasi. Alasannya, lapangan tersebut belum tentu ada cadangan migas terbukti. Indonesia Petreleum Association (IPA) juga telah menyuarakan keberatan mereka terhadap pengenaan PBB pada WK eksplorasi.

Disamping mendorong investasi untuk eksplorasi, pemerintah juga perlu menjaga tingkat produksi minyak dan gas bumi, terutama pada blok-blok yang sudah berproduksi dan memberikan kontribusi signifikan bagi negara, termasuk Blok Mahakam, yang menyumbang 80% gas bumi ke fasilitas LNG Bontang. Pemerintah perlu mempertimbangkan kelanjutan operasional Blok Mahakam saat memutuskan operator baru pasca 2017 nanti. Total E&P Indonesie (dan Inpex) telah mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2007, namun hingga saat ini pemerintah belum mengambil keputusan. Bila keputusan ditunda, dikhawatirkan akan berpengaruh pada tingkat produksi dan rencana investasi lanjutan untuk mengembangkan blok tersebut.

Keputusan perpanjangan (atau tidak) Blok Mahakam memang mengundang pro-kontra. Namun, di atas semua pro-kontra itu, pemerintah perlu mempertimbangkan optimalisasi produksi, komitmen investasi, penerapan teknologi dan risiko dalam mengambil keputusan. Ini penting, karena keputusan yang diambil pemerintah akan berpengaruh pada kontribusi pendapatan negara dari Blok Mahakam. Publik berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan tahun ini. Bila keputusan diambil tahun ini, operator punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi dan pengembangan lanjutan Blok Mahakam. (*)

No comments:

Post a Comment