Siang itu, saat menunggu pesawat di Bandara
Soekarno-Hatta, secara tak sengaja saya bertemu dengan mantan rekan kerja saya.
Sambil menunggu pesawat kami menyeruput kopi di sebuah kedai kopi di bandara
tersebut. Rekan saya rupanya hendak berangkat dinas lagi ke Brasil untuk
kembali bekerja di sebuah proyek lapangan minyak lepas pantai di negara
tersebut. Belakangan memang cukup banyak insinyur-insinyur Indonesia yang
bekerja di luar negeri, baik di Timur Tengah, Afrika maupun di Amerika Selatan.
Ketiga kawasan itu, memang sedang giat-giatnya mengembangkan proyek-proyek
minyak dan gas bumi.
Sambil membuka-buka lembaran koran, mata saya
tertuju pada sebuah berita, bahwa era minyak sudah lewat, saatnya era gas bumi.
Berita di salah satu media nasional tersebut mengutip salah satu pejabat SKK
Migas, yang mengatakan bahwa Indonesia kini dan kedepan boleh berharap pada
produksi gas bumi, sementara produksi minyak bakal terus menurun secara
alamiah. Hasil pengeboran beberapa tahun belakangan, kata pejabat itu, lebih
banyak gas bumi yang diperoleh ketimbang minyak.
Proyek-proyek besar kedepan juga lebih banyak
merupakan proyek gas bumi seperti Blok Masela (Inpex dan Shell), Blok East
Natuna (Pertamina), proyek LNG Senoro (Medco dan Mitsubishi), IDD, train 3 BP,
juga akan memproduksi gas bumi, dengan pengecualian Blok Cepu. Indonesia kini
hanya berharap produksi Blok Cepu untuk menambah produksi minyak. Namun, dalam
10 tahun terakhir tidak ada penemuan cadangan minyak terbukti sekelas Cepu.
Penemuan cadangan minyak terbukti terbesar dan terakhir adalah Blok Cepu.
Kami pun terlibat diskusi ringan sambil
menyeruput kopi Toraja hangat. Kolega saya itu bercerita bahwa Brasil dalam 10
tahun terakhir begitu giat melakkan eksplorasi di lepas pantai, yang sebagian
besar tergolong lapangan laut dalam. Dan upaya tersebut telah membuahkan hasil.
Produksi minyak Brasil kini melonjak dan beberapa lembaga memperkirakan Brasil
bakal menjadi produsen minyak ke-6 terbesar di dunia, bila proyek-proyek yang
sedang berjalan sudah mulai beroperasi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Cadangan
minyak terbukti Indonesia saat ini hanya sebesar 3,7 miliar barel. Cadangan
tersebut, bila tidak ada tambahan baru, bakal habis 10-12 tahun lagi. Bila
tidak ada tambahan cadangan, maka bersiap-siaplah Indonesia untuk mengimpor
minyak 100%. Tentu saja ini tidak sehat bagi keuangan negara dan kestabilan
ekonomi karena sewaktu-waktu ekonomi terancam gejolak bila harga minyak dunia
naik. Lain soal bila produksi minyak dalam negeri masih cukup signifikan,
sehingga kenaikan harga minyak tidak terlalu berdampak pada keuangan negara
(APBN).
Cadangan gas bumi, dalam 30-40 tahun juga
bakal habis bila tidak ada tambahan cadangan baru. Namun, potensi Indonesia
sebetulnya masih ada karena baru 60 dari 130 cekungan (basin) yang baru
dieksplorasi. Masih ada separuh lagi yang belum tersentuh atau dieksplorasi.
Ini merupakan peluang bagi perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi.
Persoalannya, sebagian besar cekungan tersebut berada di lepas pantai dan laut
dalam serta tergolong daerah frontier. Mengeksplorasi kawasan itu tentu
berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar.
Disini sebetulnya pemerintah dapat berperan,
yakni memberikan insentif kepada perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi di
laut dalam dan daerah-daerah frontier. Disamping itu, perusahaan eksplorasi
seharusnya tidak diberi beban pajak (PBB) untuk Working Area yang masih dalam
proses pengembangan atau eksplorasi. Alasannya, lapangan tersebut belum tentu
ada cadangan migas terbukti. Indonesia Petreleum Association (IPA) juga telah
menyuarakan keberatan mereka terhadap pengenaan PBB pada WK eksplorasi.
Disamping mendorong investasi untuk
eksplorasi, pemerintah juga perlu menjaga tingkat produksi minyak dan gas bumi,
terutama pada blok-blok yang sudah berproduksi dan memberikan kontribusi
signifikan bagi negara, termasuk Blok Mahakam, yang menyumbang 80% gas bumi ke
fasilitas LNG Bontang. Pemerintah perlu mempertimbangkan kelanjutan operasional
Blok Mahakam saat memutuskan operator baru pasca 2017 nanti. Total E&P
Indonesie (dan Inpex) telah mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2007, namun
hingga saat ini pemerintah belum mengambil keputusan. Bila keputusan ditunda,
dikhawatirkan akan berpengaruh pada tingkat produksi dan rencana investasi
lanjutan untuk mengembangkan blok tersebut.
Keputusan perpanjangan (atau tidak) Blok
Mahakam memang mengundang pro-kontra. Namun, di atas semua pro-kontra itu,
pemerintah perlu mempertimbangkan optimalisasi produksi, komitmen investasi,
penerapan teknologi dan risiko dalam mengambil keputusan. Ini penting, karena keputusan
yang diambil pemerintah akan berpengaruh pada kontribusi pendapatan negara dari
Blok Mahakam. Publik berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan tahun
ini. Bila keputusan diambil tahun ini, operator punya waktu yang cukup untuk
membuat perencanaan investasi dan pengembangan lanjutan Blok Mahakam. (*)
No comments:
Post a Comment