Karen Agustiawan |
Dunia energi Indonesia baru saja menjadi gempar akan
pengunduran diri Direktur Utama (Dirut) Pertamina Karen Agustiawan. Menurut
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dahlan Iskan, Karen sudah
berkali-kali mengajukan pengunduran dirinya namun ditolak berkali-kali juga
oleh Dahlan. Meskipun sudah menjabat selama 6 tahun, namun mundurnya Karen pada
bulan Oktober mendatang berarti tidak selesainya masa jabatan di periode
keduanya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari kalangan industri,
Abadi Purnomo mengatakan bahwa prestasi Karen dapat dilihat dari berbagai
penghargaan yang telah berhasil diperoleh Pertamina selama ini. "Pertamina
di bawah kepemimpin Ibu Karen kemajuannya banyak, masuk Global Fortune 500,
lalu masuk juga di Forbes, itu bukti beliau bisa bawa Pertamina dikenal dunia. Artinya
rata-rata industri, Pertamina sudah memimpin, makin banyak dikenal orang,
Indonesia-nya pun makin terangkat. Pertamina sudah akuisisi ladang minyak di
Algeria, lalu diladang-ladang lain. Jadi saya pikir waktu selama lima-enam
tahun memimpin Pertamina, Karena sudah sangat baik," pungkasnya.
Menurut pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus
mantan Sekretaris Kementerian BUMN, M Said Didu, Indonesia baru saja kehilangan
seorang profesional terbaiknya. Ia menilai bahwa Karen mampu memperbaiki
kinerja dan wajah Pertamina walaupun seringkali mengalami tekanan luar biasa.
"Negara rugi atas kemunduran Bu Karen. Negara kehilangan orang baik yang
bisa melawan intervensi dan memperbaiki GCG (Good Corporate Governance). Mereka
nggak utamakan gaji. Gaji dirut seperti Karen di luar negeri, minimal 3 kali
lipat," ujar Said.
Ia menilai pengunduran Karen menimbulkan tanda tanya besar
karena posisi bos Pertamina menjadi salah satu incaran karena sangat strategis.
Said menyebut tekanan yang diterima Karen sudah sangat luar biasa.
Memang sangat disayangkan keputusan pengunduran diri dari
orang sekaliber Karen. Mungkin hal tersebut sama halnya dengan pengunduran Sri
Mulyani dahulu dan lebih memilih untuk bekerja di World Bank. Apakah sistem
yang korup dan tekanan dari mafia yang menyebabkan beliau mundur?
Sepeninggalan pemimpin yang berhasil memajukan Pertamina
menjadi perusahaan bertaraf internasional, bagaimana nasib Pertamina? Mungkin
seharusnya Pertamina lebih terbuka untuk bekerja sama dengan perusahaan migas
asing yang sudah terjamin kualitas kerja dan teknologinya. Contoh yang paling
relevan adalah Blok Mahakam. Sebaiknya Pertamina bergandengan tangan dengan
Total E&P Indonesie dalam pengelolaan Blok Mahakam. Sepertinya 5 tahun
perpanjangan kontrak untuk Total adalah waktu yang cukup rasional.
No comments:
Post a Comment