Tuesday 19 August 2014

Dirut Pertamina Mundur, Bagaimana Nasib Blok Mahakam?

Karen Agustiawan
Dunia energi Indonesia baru saja menjadi gempar akan pengunduran diri Direktur Utama (Dirut) Pertamina Karen Agustiawan. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dahlan Iskan, Karen sudah berkali-kali mengajukan pengunduran dirinya namun ditolak berkali-kali juga oleh Dahlan. Meskipun sudah menjabat selama 6 tahun, namun mundurnya Karen pada bulan Oktober mendatang berarti tidak selesainya masa jabatan di periode keduanya.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari kalangan industri, Abadi Purnomo mengatakan bahwa prestasi Karen dapat dilihat dari berbagai penghargaan yang telah berhasil diperoleh Pertamina selama ini. "Pertamina di bawah kepemimpin Ibu Karen kemajuannya banyak, masuk Global Fortune 500, lalu masuk juga di Forbes, itu bukti beliau bisa bawa Pertamina dikenal dunia. Artinya rata-rata industri, Pertamina sudah memimpin, makin banyak dikenal orang, Indonesia-nya pun makin terangkat. Pertamina sudah akuisisi ladang minyak di Algeria, lalu diladang-ladang lain. Jadi saya pikir waktu selama lima-enam tahun memimpin Pertamina, Karena sudah sangat baik," pungkasnya.

Menurut pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN, M Said Didu, Indonesia baru saja kehilangan seorang profesional terbaiknya. Ia menilai bahwa Karen mampu memperbaiki kinerja dan wajah Pertamina walaupun seringkali mengalami tekanan luar biasa. "Negara rugi atas kemunduran Bu Karen. Negara kehilangan orang baik yang bisa melawan intervensi dan memperbaiki GCG (Good Corporate Governance). Mereka nggak utamakan gaji. Gaji dirut seperti Karen di luar negeri, minimal 3 kali lipat," ujar Said.

Ia menilai pengunduran Karen menimbulkan tanda tanya besar karena posisi bos Pertamina menjadi salah satu incaran karena sangat strategis. Said menyebut tekanan yang diterima Karen sudah sangat luar biasa.

Memang sangat disayangkan keputusan pengunduran diri dari orang sekaliber Karen. Mungkin hal tersebut sama halnya dengan pengunduran Sri Mulyani dahulu dan lebih memilih untuk bekerja di World Bank. Apakah sistem yang korup dan tekanan dari mafia yang menyebabkan beliau mundur?

Sepeninggalan pemimpin yang berhasil memajukan Pertamina menjadi perusahaan bertaraf internasional, bagaimana nasib Pertamina? Mungkin seharusnya Pertamina lebih terbuka untuk bekerja sama dengan perusahaan migas asing yang sudah terjamin kualitas kerja dan teknologinya. Contoh yang paling relevan adalah Blok Mahakam. Sebaiknya Pertamina bergandengan tangan dengan Total E&P Indonesie dalam pengelolaan Blok Mahakam. Sepertinya 5 tahun perpanjangan kontrak untuk Total adalah waktu yang cukup rasional.


No comments:

Post a Comment