Thursday 3 April 2014

Mobil LCGC Dorong Konsumsi BBM Bersubsidi, Pemerintah Indonesia Bingung

Contoh Mobil LCGC
Seorang rekan kerja baru saja membeli sebuah mobil keluaran terbaru merek asal Jepang, yang menurut pemberitaan diklaim sebagai mobil low cost green car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan. Tahun 2013 lalu, pemerintah memang mengeluarkan kebijakan mobil murah ramah lingkungan ini. Namanya memang keren, murah dan ramah lingkungan. Apa benar? Bisik saya dalam hati.

Contoh Mobil LCGC
Kebijakan LCGC tersebut menuai kritik dan kontroversi di tengah masyarakat. Pasalnya, ramah lingkungan belum tentu murah, tapi justru sebaliknya, ramah lingkungan tapi mahal. Pemerintah kala itu membela diri bahwa biaya pembuatan mobil tersebut murah karena menggunakan sebagian besar komponen lokal. Namun, pada saat yang sama pemerintah membebaskan PPnBM (pajak pertambahan nilai barang mewah) bagi komponen yang digunakan untuk pembuatan mobil-mobil tersebut.

Pemerintah sendiri memberikan definisi kriteria kendaraan mobil LCGC untuk mendapatkan insentif pajak, antara lain: (1) Motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu; (2) Motor nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu. Ternyata tidak semua mobil ramah lingkungan (green car) itu murah. Kira-kira berapa harga sebuah low cost green car? LCGC di Indonesia di jual dengan harga Rp 75 juta – Rp 100 juta.

Pemerintah dan produsen mobil juga mengklaim mobil LCGC tersebut ramah lingkungan karena mengkonsumsi lebih rendah BBM. Nah, disini pangkal persoalannya. Dikhawatirkan, lahirnya mobil LCGC ini akan mendorong peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kekhawatiran itu kini menjadi kenyataan. Mobil LCGC mulai berseliweran di jalan, dan seperti mobil-mobil lain, mobil-mobil LCGC ini juga mengkonsumsi BBM bersubsidi (premium). Nah Lho!! Saya juga menyaksikan mobil-mobil LCGC tersebut mengkonsumsi premium, BBM bersubsidi.

Padahal, pemerintah kala itu mengatakan bahwa mobil LCGC tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi karena telah mendapatkan kemudahan-kemudahan termasuk pembebasan PPnBM tadi, sebagai insentif. Pemerintah mengatakan sebelumnya insenstif berupa pembebasan bea masuk diberikan dengan syarat utama, mobil LCGC yang diproduksi dan menggunakan BBM non subsidi.

Namun kenyataannya justru saat ini banyak mobil LCGC yang mengkonsumsi BBM subsidi. Pemerintah yang membuat keputusan, dan pemerintah sendiri yang kini bingung dengan keputusannya. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mendukung kebijakan mobil LCGC ini, dan juga mendukung bahwa mobil LCGC tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Tapi, kebijakan ini tidak disertai mekanisme bagaimana melarang pemilik mobil LCGC mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Maka kini muncul kekhawatiran di kalangan pemerintah sendiri dan pengamat bahwa meluncurnya mobil-mobil LCGC di jalan-jalan raya bakal mendorong naiknya konsumsi BBM bersubsidi tahun ini, melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam APBN. Pemerintah telah menetapkan volume BBM subsidi tahun ini yakni 48 kl, sama seperti tahun lalu.

Kebijakan LCGC ini juga menunjukkan pemerintah tak punya konsep yang jelas untuk mengurangi subsidi BBM di Indonesia. Padahal, seperti yang diklaim seorang pengamat, bila subsidi energi di Indonesia dicabu, Indonesia dapat membangun 60 bandara canggih seperti Bandara Kualanamu, Medan. Dana subsidi energi tersebut dapat juga digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan atau membangun jalan-jalan baru, jembatan, pelabuhan, rumah sakit, sekolah dan fasilitas publik lainnya.

Menteri-menteri pun kini mulai saling menuding dan mencuci tangan. Ada juga yang berusaha melempar tanggung jawab dan menunggu menteri lain bertindak. Soal sanksi bagi pemilik mobil LCGC yang menggunakan BBM subsidi, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan sanksi harus ada dan ia menunggu menteri-menteri terkait untuk membuat peraturan teknis.

"Sanksinya harus ada, dibuat dong. Yang buat Kementerian ESDM dan Perindustrian, bagaimana teknisnya. Karena dari awal kan kita sudah minta ini (LCGC) supaya jangan nyerbu BBM subsidi, karena sudah diberikan insentif begitu banyak, bebas ini bebas itu," kata Hatta ditemui di kantornya, Selasa (2/4/2014).

Hatta mengatakan bahwa ia belum mendengar bahwa kementerian terkait (ESDM atau perindustrian) telah membuat bentuk sanksi yang akan diberikan. "Saya belum pernah lihat sanksinya seperti apa, dan tidak perlu meminta Menko. Menko ini bersifat koordinasi bukan eksekutor," ucapnya.

Lalu apa tanggapan Menteri Perindustrian dan Menteri ESDM? Boro-boro mikirin sanksi. Menteri ESDM saat ini masih sibuk berkampanye bagi Partai Demokrat, siapa tahu rakyat akan menjatuhkan kembali pilihannya pada Partai Demokrat dan calon presiden yang bakal diusung partai ini. Tapi dengan melihat berbagai ketidakberesan dan ketidakkonsistenan Pemerintah, kita tidak yakin rakyat akan menjatuhkan pilihannya kembali seperti pada Pemilu 2004 dan 2009.

Berdasarkan berbagai survei terakhir, rakyat rupanya sudah mulai cerdas. Mereka tidak mau terkecoh lagi dengan wajah-wajah tampan, ganteng, tegas, berwibawa. Rakyat kini butuh sosok yang sederhana, tapi jujur dan dapat melayani rakyatnya. Yang penting “isi”nya bukan “casing”-nya seperti kata kawula muda saat ini. (*)

No comments:

Post a Comment