Industri minyak dan
gas bumi membutuhkan kepastian usaha mengingat investasi di sektor migas
bersifat jangka panjang. Memulai sebuah proyek dibutuhkan waktu beberapa tahun
untuk membuat perencanaan apalagi bila proyek tersebut tergolong proyek
raksasa, seperti pengembangan Blok Masela, Blok Cepu, Train 3 Tangguh atau
proyek kelanjutan Blok Mahakam. Kepastian tidak hanya saat untuk memulai
proyek, tapi juga saat kontrak berakhir, karena operator perlu melakukan
persiapan untuk exit (exit strategi) atau untuk melanjutkan investasi
pengembangan lanjutan.
Saat ini ada cukup banyak blok-blok migas yang
kontraknya berakhir dalam 10 tahun mendatang. Menurut catatan Indonesia
Petroleum Association (IPA), sekitar 30 persen produksi
nasional saat ini (635.000 boepd) berasal dari 20 perusahaan, yang Kontrak
Bagi Hasilnya (Production Sharing Contract/PSC) akan habis dalam lima tahun.
Selain itu, sekitar 61 persen dari produksi nasional saat ini (1,2 juta boepd)
berasal dari perusahaan-perusahaan dengan PSC yang akan habis dalam sepuluh
tahun kedepan.
Salah satu blok yang akan habis kontraknya
adalah Blok Mahakam, yang akan berakhir pada akhir Maret 2017. Menurut
peraturan, perusahaan migas dapat mengajukan perpanjangan 10 tahun sebelum
kontrak berakhir. Operator Blok Mahakam Total E&P (dan Inpex Corp) telah mengajukan
perpanjangan tahun 2007 dan hingga saat ini belum diputuskan pemerintah.
Tampaknya, pemerintah incumbent Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) belum akan membuat keputusan di sisa pemerintahannya,
tapi menunggu pemerintah baru.
Pertanyaannya, apakah
hak pengelolaan Blok Mahakam akan diperpanjang, tidak diperpanjang atau dibuat
sebuah skema baru (joint operating) yang akan melibatkan operator lama dan
baru? Yang jelas, operator yang sekarang Total E&P dan mitranya Inpex telah
mengajukan ketertarikan mereka untuk memperpanjang operatorship Blok Mahakam.
Memperpanjang tentu merupakan sebuah opsi. Tentu akan ada plus minusnya. Opsi
ini tentu merupakan pilihan yang paling kecil risikonya karena tak akan ada
perubahan apa-apa pada sisi operasional, tak akan ada gejolak internal, tak
akan ada perubahan sistem/budaya kerja. Operator tinggal memaksimalkan
investasi dan produksi.
Opsi kedua adalah
tidak diperpanjang. Ini opsi yang paling berisiko karena menyerahkan hak
pengelolaan blok tua, blok raksasa, seperti Blok Mahakam tidak mudah. Bila ini
yang diambil, itu ibarat membelokkan sebuah kapal induk dalam sekejap. Untuk
membelokkan kapal induk harus dilakukan perlahan, bila tidak akan crash dan
tentu ini tidak diharapkan semua pihak. Operator baru membutuhkan waktu untuk
melakukan adaptasi, belum lagi misalnya ada gejolak internal yang tidak ingin
ada perubahan drastis.
Opsi ketiga adalah
semacam joint operating yang melibatkan operator lama dan baru. Mengenai porsi
kepemilikan, itu tergantung pemerintah memutuskan. Mengenai operator, tentu
juga bisa dilakukan berbagai opsi. Operator bisa tetap, tapi juga bisa berubah
dalam periode tertentu setelah ada masa transisi. Misalnya, operator yang
sekarang Total EP dapat tetap menjadi operator, dan dalam waktu 5-10 tahun,
operator beralih ke pemain baru, bisa Pertamina atau perusahaan lain.
BUMN Migas sendiri
tertarik untuk mengelola Blok Mahakam. Perusahaan BUMN ini telah mengirimkan
surat ke pemerintha. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum menentukan sikap
mengenai status Blok Mahakam. Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian ESDM
sedang menggodok regulasi perpanjangan kontrak KKKS. Peraturan tersebut belum
selesai. Diharapkan peraturan tersebut akan dipakai oleh pemerintah dalam
melakukan pertimbangan-pertimbangan apakah sebuah KKKS diperpanjang atau tidak.
Kalau diperpanjang, apa pertimbangannya, dan kalau tidak diperpanjang apa
pertimbangannya. Dan kalau dibuat skema semacam joint-operation, apa
pertimbangannya.
Apapun keputusan
pemerintah, pelaku industri migas dan publik berharap pemerintah tidak gegabah
dalam membuat keputusan, tetapi melakukan pertimbangan yang matang. Semua
aspek, teknis, nonteknis harus dipertimbangkan, plus minusnya. Pilihan atau opsi mana yang paling menguntungkan
pemerintah atau memberi manfaat lebih kepada pemerintah dan masyarakat
Indonesia, memperpanjang, tidak diperpanjang atau justru lebih bermanfaat dan
tidak berisiko bila dibuat opsi ketiga, yakni joint-operation dengan adanya
masa transisi. Boleh jadi opsi ketiga menjadi pilihan tepat karena dapat
menjamin kelanjutan operasional Blok Mahakam dengan tingkat risiko paling
minim. Rencana investasi mengembangkan blok tersebut dapat dilanjutkan, dan
tentu juga tak akan ada gejolak internal bila terjadi perubahan operator dan
sistem secara drastis. (*)
No comments:
Post a Comment