Tuesday 22 April 2014

Blok Mahakam, Mandiri Oil dan Peta Politik Indonesia

Bagaimana kelanjutan nasib blok-blok Minyak dan Gas bumi yang kontraknya akan berakhir? Pertanyaan tersebut mungkin muncul dari pelaku industri Migas atau pemantau industri Migas. Bila pertanyaan tersebut diajukan ke pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, maka hampir pasti kita akan mendapat jawaban klasik, “sedang dibahas”, “masih digodok skemanya”, dan jawaban-jawaban yang mirip seperti itu. Saat ini pembahasan soal blok-blok Migas yang kontraknya bakal berakhir tampak ‘cooling down’, artinya tenggelam oleh isu-isu agenda Pemilu. 

Pertanyaan lain yang mungkin timbul adalah apakah keputusan mengenai nasib blok-blok Migas yang kontraknya berakhir, termasuk Blok Mahakam, akan ditentukan atau diputuskan oleh Kementerian ESDM atau pemerintah sebelum masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, atau akan diputuskan oleh pemerintah baru nanti? 

Seperti yang kita pahami, operator Blok Mahakam telah mengajukan perpanjangan kontrak pada tahun 2007. Beberapa waktu lalu, pemerintah mengatakan bahwa saat ini ada tiga opsi yang sedang dipertimbangkan pemerintah, yaitu, diperpanjang, tidak diperpanjang dan opsi skema baru, yakni melibatkan pemain baru. Dari pernyataan beberapa pejabat pemerintah, tampaknya pemerintah akan mengambil opsi ketiga. Dan dari sumber-sumber di Kementerian ESDM, opsi ketiga ini yang sedang dibahas, hanya detilnya sedang dibahas. Opsi ketiga ini akan melibatkan operator lama yakni Total E&P Indonesie, mitra non-operator Inpex Corp dan pemain baru Pertamina. 

Namun, belakangan muncul nama-nama baru yang tertarik untuk masuk ke Blok Mahakam seperti Indika Energi, ENI dan Marathon Oil. Publik mungkin familiar dengan Indika Energi, yang listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan ENI, perusahaan raksasa minyak asal Italia. Tapi Mandiri Oil? 

Mandiri Oil atau PT Mandiri Panca Usaha adalah Kontraktor Kerja Sama yang saat ini melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di Wilayah Kerja Blok Sembilang, Natuna Barat, Kepulauan Riau. BP MIGAS dan PT. Mandiri Panca Usaha pada tanggal 1 April 2011 menandatangai kontrak kerjasama untuk waktu kontrak selama 20 tahun. Mandiri Oil adalah perusahaan yang tergabung dalam Indoland Group, sebuah grup perusahaan yang sedang naik daun yang didirikan oleh Yanuar Arsjad.
Mandiri Oil sebenarnya merupakan pemain baru di industri migas di Tanah Air. Indoland Grup awalnya merupakan pengembang properti yang antara lain mengelola hotel bintang lima di Bali, yakni The Bali Cliff, serta memiliki anak usaha lain di bidang telekomunikasi. Anak usaha Indoland di bidang properti adalah PT Indoland Bali Propertindo.
Pada tahun 2011, Mandiri Oil ditunjuk pemerintah untuk mengelola Blok Sembilang di Natuna, yang sebelumnya dikelola oleh Conoco Philips. Peralihan pengelolaan blok ini pun sempat menjadi kontroversi karena proses peralihan yang tidak wajar.
Selain itu, Indoland Group memiliki anak usaha PT Bhakti Surya Telecomindo, perusahaan menara telekomunikasi yang memiliki 700 menara dan 150 in building site. Perusahaan ini melayani operator telekomunikasi besar dan multinasional. Anak perusahaan lain adalah PT Arun Petrogas. 

Menurut penelusuran penulis, pendiri Mandiri Oil dekat Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). Kedekatan tersebut juga telah diakui oleh pemilik Mandiri Oil Yanuar Arsjad seperti yang diberitakan oleh beberapa media. Belakangan nama Mandiri Oil muncul sebagai salah satu pihak yang ingin masuk ke Mahakam.

Nama Mandiri Oil muncul ke media setelah beberapa waktu lalu adanya pertemuan antara Total E&P Indonesie dengan Menteri ESDM Jero Wacik yang difasilitasi Mandiri Oil. Perusahaan ini (Mandiri Oil) kabarnya juga pernah dibantu oleh Jero Wacik saat ingin membeli Blok B Arun dan North Sumatera Offshore (NSO) di Nanggroe Aceh Darussalam milik ExxonMobil, yang kemudian bermasalah.

Hingga saat ini, operator Blok Mahakam maupun pelaku industri migas, masih menunggu keputusan pemerintah terkait nasib Blok Mahakam. Kontrak Total E&P Indonesie akan berakhir pada semester I tahun 2017. Idealnya, keputusan perpanjangan/tidak perpanjanga/skema baru dilakukan 5 tahun sebelum kontrak berakhir karena ini berpengaruh pada rencana investasi operator blok tersebut.

Keputusan perpanjangan sebuah blok Migas di Indoensia tampaknya tidak mudah bagi pemerintah. Pemerintah sendiri tampak terjebak oleh desakan-desakan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingannya. Kelompok-kelompok LSM tertentu misalnya menginginkan operatorship Blok Mahakam langsung diserahkan ke perusahaan nasional. Namun, ada pihak lain yang berpikir lebih rasional, yang mengutamakan agar Blok Mahakam diperasikan oleh pihak-pihak yang berkompeten agar operasional Blok Mahakam berlanjut dan tidak terganggu.

Kita berharap pemerintah akan mengambil keputusan yang bijaksana demi kepentingan negara!

Thursday 3 April 2014

Mobil LCGC Dorong Konsumsi BBM Bersubsidi, Pemerintah Indonesia Bingung

Contoh Mobil LCGC
Seorang rekan kerja baru saja membeli sebuah mobil keluaran terbaru merek asal Jepang, yang menurut pemberitaan diklaim sebagai mobil low cost green car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan. Tahun 2013 lalu, pemerintah memang mengeluarkan kebijakan mobil murah ramah lingkungan ini. Namanya memang keren, murah dan ramah lingkungan. Apa benar? Bisik saya dalam hati.

Contoh Mobil LCGC
Kebijakan LCGC tersebut menuai kritik dan kontroversi di tengah masyarakat. Pasalnya, ramah lingkungan belum tentu murah, tapi justru sebaliknya, ramah lingkungan tapi mahal. Pemerintah kala itu membela diri bahwa biaya pembuatan mobil tersebut murah karena menggunakan sebagian besar komponen lokal. Namun, pada saat yang sama pemerintah membebaskan PPnBM (pajak pertambahan nilai barang mewah) bagi komponen yang digunakan untuk pembuatan mobil-mobil tersebut.

Pemerintah sendiri memberikan definisi kriteria kendaraan mobil LCGC untuk mendapatkan insentif pajak, antara lain: (1) Motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu; (2) Motor nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu. Ternyata tidak semua mobil ramah lingkungan (green car) itu murah. Kira-kira berapa harga sebuah low cost green car? LCGC di Indonesia di jual dengan harga Rp 75 juta – Rp 100 juta.

Pemerintah dan produsen mobil juga mengklaim mobil LCGC tersebut ramah lingkungan karena mengkonsumsi lebih rendah BBM. Nah, disini pangkal persoalannya. Dikhawatirkan, lahirnya mobil LCGC ini akan mendorong peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kekhawatiran itu kini menjadi kenyataan. Mobil LCGC mulai berseliweran di jalan, dan seperti mobil-mobil lain, mobil-mobil LCGC ini juga mengkonsumsi BBM bersubsidi (premium). Nah Lho!! Saya juga menyaksikan mobil-mobil LCGC tersebut mengkonsumsi premium, BBM bersubsidi.

Padahal, pemerintah kala itu mengatakan bahwa mobil LCGC tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi karena telah mendapatkan kemudahan-kemudahan termasuk pembebasan PPnBM tadi, sebagai insentif. Pemerintah mengatakan sebelumnya insenstif berupa pembebasan bea masuk diberikan dengan syarat utama, mobil LCGC yang diproduksi dan menggunakan BBM non subsidi.

Namun kenyataannya justru saat ini banyak mobil LCGC yang mengkonsumsi BBM subsidi. Pemerintah yang membuat keputusan, dan pemerintah sendiri yang kini bingung dengan keputusannya. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mendukung kebijakan mobil LCGC ini, dan juga mendukung bahwa mobil LCGC tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Tapi, kebijakan ini tidak disertai mekanisme bagaimana melarang pemilik mobil LCGC mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Maka kini muncul kekhawatiran di kalangan pemerintah sendiri dan pengamat bahwa meluncurnya mobil-mobil LCGC di jalan-jalan raya bakal mendorong naiknya konsumsi BBM bersubsidi tahun ini, melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam APBN. Pemerintah telah menetapkan volume BBM subsidi tahun ini yakni 48 kl, sama seperti tahun lalu.

Kebijakan LCGC ini juga menunjukkan pemerintah tak punya konsep yang jelas untuk mengurangi subsidi BBM di Indonesia. Padahal, seperti yang diklaim seorang pengamat, bila subsidi energi di Indonesia dicabu, Indonesia dapat membangun 60 bandara canggih seperti Bandara Kualanamu, Medan. Dana subsidi energi tersebut dapat juga digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan atau membangun jalan-jalan baru, jembatan, pelabuhan, rumah sakit, sekolah dan fasilitas publik lainnya.

Menteri-menteri pun kini mulai saling menuding dan mencuci tangan. Ada juga yang berusaha melempar tanggung jawab dan menunggu menteri lain bertindak. Soal sanksi bagi pemilik mobil LCGC yang menggunakan BBM subsidi, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan sanksi harus ada dan ia menunggu menteri-menteri terkait untuk membuat peraturan teknis.

"Sanksinya harus ada, dibuat dong. Yang buat Kementerian ESDM dan Perindustrian, bagaimana teknisnya. Karena dari awal kan kita sudah minta ini (LCGC) supaya jangan nyerbu BBM subsidi, karena sudah diberikan insentif begitu banyak, bebas ini bebas itu," kata Hatta ditemui di kantornya, Selasa (2/4/2014).

Hatta mengatakan bahwa ia belum mendengar bahwa kementerian terkait (ESDM atau perindustrian) telah membuat bentuk sanksi yang akan diberikan. "Saya belum pernah lihat sanksinya seperti apa, dan tidak perlu meminta Menko. Menko ini bersifat koordinasi bukan eksekutor," ucapnya.

Lalu apa tanggapan Menteri Perindustrian dan Menteri ESDM? Boro-boro mikirin sanksi. Menteri ESDM saat ini masih sibuk berkampanye bagi Partai Demokrat, siapa tahu rakyat akan menjatuhkan kembali pilihannya pada Partai Demokrat dan calon presiden yang bakal diusung partai ini. Tapi dengan melihat berbagai ketidakberesan dan ketidakkonsistenan Pemerintah, kita tidak yakin rakyat akan menjatuhkan pilihannya kembali seperti pada Pemilu 2004 dan 2009.

Berdasarkan berbagai survei terakhir, rakyat rupanya sudah mulai cerdas. Mereka tidak mau terkecoh lagi dengan wajah-wajah tampan, ganteng, tegas, berwibawa. Rakyat kini butuh sosok yang sederhana, tapi jujur dan dapat melayani rakyatnya. Yang penting “isi”nya bukan “casing”-nya seperti kata kawula muda saat ini. (*)