![]() |
Anjungan minyak dan gas lepas pantai |
Walaupun Petronas terseok-seok di sektor hilir, secara umum Petronas sudah berada jauh di depan. Aset Petronas telah mencapai US$125,69 miliar atau Rp1.132 triliun, sementara aset Pertamina sebesar Rp266,5 triliun per akhir 2010 lalu. Dari sisi laba, kinerja Petronas jauh lebih kinclong, yakni membukukan laba bersih Rp182,9 triliun tahun 2012, dibanding Pertamina Rp25,89 trilion. Ini sekadar gambaran saja, bahwa Pertamina menghadapi jalan terjal kedepan, untuk mengejar ketertinggalan dari muridnya, Petronas. Bila dulu, Petronas belajar dari Pertamina, kini Pertamina tidak perlu malu untuk belajar, memahami kekurangan yang dimiliki sehingga kedepan dapat memacu roda usahanya lebih kencang lagi. Tentu ini membutuhkan dukungan politik pemerintah agar tidak terlalu mengintervensi Pertamina.
Berbeda dengan bisnis hilir, kinerja Pertamina di sektor hulu tidak sebagus di sektor hilir. Ini terlihat dari produksi minyak dan gas dan investasi di aktivitas eksplorasi. Produksi minyak terbesar di Tanah Air masih dipegang oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) sebesar 490 ribu barel setara minyak per hari (mpboepd) dibanding 350 ribu mboepd oleh Pertamina, sementara produsen gas terbesar dipegang oleh Total E&P Indonesia.
Bila kita membedah lebih jauh, mengapa Pertamina tertinggal dibanding Petronas, tentu akan banyak alasannya. Bila dikupas lebih dalam, mungkin akan menghasilkan sebuah buku. Salah satu alasan mengapa Petronas berhasil berlari kencang adalah perbedaan strategi bisnis. Petronas fokus pada pertumbuhan (growth), sementara Pertamina fokus pada profitabilitas. Pertronas menginvestasikan kembali keuntungannya untuk pertumbuhan, sementara Pertamina menyumbangkan sebagian besar labanya untuk pemerintah, yang kemudian dikembalikan ke rakyat untuk membayar subsidi serta untuk biaya-biaya siluman (korupsi dan sejenisnya). Sehingga nilai anggaran untuk investasi, baik untuk pengembangan, eksplorasi dan produksi tidak signifikan.
Penyebab lain Pertamina terlambat maju saat itu adalah mental juragan. Blok-blok migas dilepas ke pihak ketiga sementara Pertamina hanya menjadi sebagai mitra non-operator saja. Kegiatan eksplorasi maupun produksi migas dikerjakan oleh pihak ketiga. Akibatnya, transfer teknologi terlambat sehingga Pertamina terlambat untuk bangkit.
Secercah Harapan
Namun, kini ada secercah harapan ketika Pertamina kini berada dibawah Karen Agustiawan. Dengan latar belakang bekerja di perusahaan jasa migas multinasional (Halliburton), secara perlahan Karen mengubah corporate culture Pertamina dari yang bermental birokrat ke mental korporat.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Karen Agustiawan secara gamblang menjelaskan perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi di perusahaan migas pelat merah itu. Pertamina berambisi masuk dalam 15 perusahaan minyak terbesar di dunia dengan cadangan migas sebesar 2,22 miliar barel ekuivalen minyak (BBOE) dan memproduksi migas sebanyak 776 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD).
Salah satu tantangan terbesar Pertamina saat ini adalah bagaimana melepaskan diri dari intervensi kepentingan dan muatan politik dan bayang-bayang isu korupsi dan kolusi. Bila bayang-bayang itu bisa hilang, Pertamina dapat melaju menuju era baru.
Mengomentari soal intervensi itu, Karen mengklaim telah berhasil menjaga Pertamina dari intervensi politik. "Sekarang semua mata mengawasi mau kemana Pertamina. Saya kira pantauan ini bagus. Saya punya banyak watchdog." kata Karen.
Disamping itu, Karen mengakui salah titik lemah Pertamina dulu adalah ketiadaan bagian pengembangan, yang bertugas membuat cadangan potensil (C2) menjadi cadangan terbukti (P1). Kegiatan pengembangan ini memang penuh risiko dan berbiaya tinggi, sehingga kegiatan pengembangan dan eksplorasi lebih banyak dilakukan perusahaan migas asing. Dengan modal dan kapasitas terbatas, mau tidak mau cadangan potensial dengan risiko tinggi, dikerjasamakan dengan pihak lain. Farm-out atau kerjasama dengan pihak lain merupakan sesuatu yang wajar di industri migas untuk mengurangi risiko (sharing risks).
Kedepan, Pertamina dapat menggunakan skema kerjasama dengan pihak ketiga ini untuk mengembangkan blok-blok migas yang tergolong risiko. Salah satu contoh adalah pengembangan Blok East Natuna. Untuk mengembangkan blok migas ini, yang elemen karbondioxidanya tinggi, Pertamina menggandeng ExxonMobil, PTTEP dan Total E&P Indonesie. Petronas yang dulu bergabung, telah mengundurkan diri. Di Blok Mahakam, Pertamina berpeluang untuk menjadi mitra Total E&P Indonesie dan Inpex untuk mengembangkan blok migas tua tersebut. Blok Mahakam ibarat kapal induk. Terlalu berisiko bagi pemerintah untuk langsung menyerahkan 100% pengelolaan blok Mahakam ke Pertamina. Untuk mengurangi risiko, Pertamina lebih tepat memanfaatkan masa transisi untuk transfer teknologi, sehingga ketika siap, Pertamina dapat mengambil kendali sebagai operator. Pengalaman di Blok Mahakam, kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan blok gas East Natuna.
Bisnis migas adalah bisnis risiko. Keberhasilan pengelolaan sebuah proyek migas, entah itu pengembangan, explorasi atau produksi, terletak pada bagaimana mengelola risiko. Salah satu upaya untuk mengurangi risiko, yakni sharing risks dengan bermitra dengan pihak lain. Hal ini, juga dilakukan Inpex dalam mengembangkan Blok Masela di Arafura. Perusahaan Jepang ini kemudian bermitra dengan Shell, yang dikenal punya kemampuan dalam mengembangkan proyek floating LNG (FLNG).
Telah banyak kemajuan yang dicatat Pertamina dalam beberapa tahun terakhir, namun, jalan untuk membawa Pertamina ke era baru tidak mudah. Disamping komitmen manajemen, juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah serta kemitraan dengan produsen-produsen migas dunia dalam mengembangkan berbagai proyek-proyek migas yang penuh risiko di Tanah Air, seperti Blok East Natuna dan Blok Mahakam. (*)