Thursday, 24 October 2013

Perusahaan Migas Indonesia Pertamina vs Petronas asal Malaysia, Ketika Guru Mengejar Muridnya

Anjungan minyak dan gas lepas pantai
Beberapa waktu lalu, Pertamina, perusahaan minyak dan gas pemerintah Indonesia, mengakuisisi SPBU Petronas setelah perusahaan migas milik negara tetangga, Malaysia, itu terseok-seok terjun ke bisnis hilir di Indonesia, khususnya distribusi BBM. Kondisi ini menggambarkan bisnis hilir migas di Tanah Air, masih tetap dikuasai Pertamina, apalagi Pertamina tetap menjadi distributor utama BBM bersubsidi. Pertamina memang memiliki keunggulan di sektor hilir, walaupun sektor ini telah dibuka sejak keluarnya Undang-Undang Migas tahun 2001.

Walaupun Petronas terseok-seok di sektor hilir, secara umum Petronas sudah berada jauh di depan. Aset Petronas telah mencapai US$125,69 miliar atau Rp1.132 triliun, sementara aset Pertamina sebesar Rp266,5 triliun per akhir 2010 lalu. Dari sisi laba, kinerja Petronas jauh lebih kinclong, yakni membukukan laba bersih Rp182,9 triliun tahun 2012, dibanding Pertamina Rp25,89 trilion. Ini sekadar gambaran saja, bahwa Pertamina menghadapi jalan terjal kedepan, untuk mengejar ketertinggalan dari muridnya, Petronas. Bila dulu, Petronas belajar dari Pertamina, kini Pertamina tidak perlu malu untuk belajar, memahami kekurangan yang dimiliki sehingga kedepan dapat memacu roda usahanya lebih kencang lagi. Tentu ini membutuhkan dukungan politik pemerintah agar tidak terlalu mengintervensi Pertamina.

Berbeda dengan bisnis hilir, kinerja Pertamina di sektor hulu tidak sebagus di sektor hilir. Ini terlihat dari produksi minyak dan gas dan investasi di aktivitas eksplorasi. Produksi minyak terbesar di Tanah Air masih dipegang oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) sebesar 490 ribu barel setara minyak per hari (mpboepd) dibanding 350 ribu mboepd oleh Pertamina, sementara produsen gas terbesar dipegang oleh Total E&P Indonesia.

Bila kita membedah lebih jauh, mengapa Pertamina tertinggal dibanding Petronas, tentu akan banyak alasannya. Bila dikupas lebih dalam, mungkin akan menghasilkan sebuah buku. Salah satu alasan mengapa Petronas berhasil berlari kencang adalah perbedaan strategi bisnis. Petronas fokus pada pertumbuhan (growth), sementara Pertamina fokus pada profitabilitas. Pertronas menginvestasikan kembali keuntungannya untuk pertumbuhan, sementara Pertamina menyumbangkan sebagian besar labanya untuk pemerintah, yang kemudian dikembalikan ke rakyat untuk membayar subsidi serta untuk biaya-biaya siluman (korupsi dan sejenisnya). Sehingga nilai anggaran untuk investasi, baik untuk pengembangan, eksplorasi dan produksi tidak signifikan. 

Penyebab lain Pertamina terlambat maju saat itu adalah mental juragan. Blok-blok migas dilepas ke pihak ketiga sementara Pertamina hanya menjadi sebagai mitra non-operator saja.  Kegiatan eksplorasi maupun produksi migas dikerjakan oleh pihak ketiga. Akibatnya, transfer teknologi terlambat sehingga Pertamina terlambat untuk bangkit.

Secercah Harapan
Namun, kini ada secercah harapan ketika Pertamina kini berada dibawah Karen Agustiawan. Dengan latar belakang bekerja di perusahaan jasa migas multinasional (Halliburton), secara perlahan Karen mengubah corporate culture Pertamina dari yang bermental birokrat ke mental korporat. 

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Karen Agustiawan secara gamblang menjelaskan perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi di perusahaan migas pelat merah itu. Pertamina berambisi masuk dalam 15 perusahaan minyak terbesar di dunia dengan cadangan migas sebesar 2,22 miliar barel ekuivalen minyak (BBOE) dan memproduksi migas sebanyak 776 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD).
Salah satu tantangan terbesar Pertamina saat ini adalah bagaimana melepaskan diri dari intervensi kepentingan dan muatan politik dan bayang-bayang isu korupsi dan kolusi. Bila bayang-bayang itu bisa hilang, Pertamina dapat melaju menuju era baru.

Mengomentari soal intervensi itu, Karen mengklaim telah berhasil menjaga Pertamina dari intervensi politik. "Sekarang semua mata mengawasi mau kemana Pertamina. Saya kira pantauan ini bagus. Saya punya banyak watchdog." kata Karen.

Disamping itu, Karen mengakui salah titik lemah Pertamina dulu adalah ketiadaan bagian pengembangan, yang bertugas membuat cadangan potensil (C2) menjadi cadangan terbukti (P1).  Kegiatan pengembangan ini memang penuh risiko dan berbiaya tinggi, sehingga kegiatan pengembangan dan eksplorasi lebih banyak dilakukan perusahaan migas asing. Dengan modal dan kapasitas terbatas, mau tidak mau cadangan potensial dengan risiko tinggi, dikerjasamakan dengan pihak lain. Farm-out atau kerjasama dengan pihak lain merupakan sesuatu yang wajar di industri migas untuk mengurangi risiko (sharing risks).

Kedepan, Pertamina dapat menggunakan skema kerjasama dengan pihak ketiga ini untuk mengembangkan blok-blok migas yang tergolong risiko. Salah satu contoh adalah pengembangan Blok East Natuna. Untuk mengembangkan blok migas ini, yang elemen karbondioxidanya tinggi, Pertamina menggandeng ExxonMobil, PTTEP dan Total E&P Indonesie. Petronas yang dulu bergabung, telah mengundurkan diri. Di Blok Mahakam, Pertamina berpeluang untuk menjadi mitra Total E&P Indonesie dan Inpex untuk mengembangkan blok migas tua tersebut. Blok Mahakam ibarat kapal induk. Terlalu berisiko bagi pemerintah untuk langsung menyerahkan 100% pengelolaan blok Mahakam ke Pertamina. Untuk mengurangi risiko, Pertamina lebih tepat memanfaatkan masa transisi untuk transfer teknologi, sehingga ketika siap, Pertamina dapat mengambil kendali sebagai operator.  Pengalaman di Blok Mahakam, kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan blok gas East Natuna. 

Bisnis migas adalah bisnis risiko. Keberhasilan pengelolaan sebuah proyek migas, entah itu pengembangan, explorasi atau produksi, terletak pada bagaimana mengelola risiko. Salah satu upaya untuk mengurangi risiko, yakni sharing risks dengan bermitra dengan pihak lain. Hal ini, juga dilakukan Inpex dalam mengembangkan Blok Masela di Arafura. Perusahaan Jepang ini kemudian bermitra dengan Shell, yang dikenal punya kemampuan dalam mengembangkan proyek floating LNG (FLNG). 

Telah banyak kemajuan yang dicatat Pertamina dalam beberapa tahun terakhir, namun, jalan untuk membawa Pertamina ke era baru tidak mudah. Disamping komitmen manajemen, juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah serta kemitraan dengan produsen-produsen migas dunia dalam mengembangkan berbagai proyek-proyek migas yang penuh risiko di Tanah Air, seperti Blok East Natuna dan Blok Mahakam. (*)

Tuesday, 15 October 2013

Investasi Pengembangan Blok Mahakam Perlu Tetap Dilanjutkan


Pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie, yang berfungsi sebagai operator dan mitranya Inpex Corp, akan berakhir pada 2017. Berarti tinggal sekitar 4 tahun lagi, padahal idealnya perpanjangan atau tidak sebuah blok migas dibuat antara 5-10 tahun sebelum kontrak berakhir. Waktu lima tahun cukup bagi operator untuk melakukan persiapan apakah investasi dilanjutkan atau tidak.  

Timing sebuah keputusan sangat penting apalagi menyangkut investasi atau proyek migas, yang horison investasi bersifat jangka panjang. Untuk mengembangkan sebuah lapangan, misalnya, dibutuhkan waktu hingga 5-6 tahun, mulai dari perencanaan, persiapan, eksekusi proyek, hingga mengoperasikan proyek tersebut. Perencanaan yang detil, terukur, dan kualitas sangat penting untuk sebuah proyek migas. Kesuksesan sebuah proyek bahkan dimulai dengan sebuah perencanaan yang matang. Pengerjaan proyek pun dikawal sedemikian rupa agar setiap detil dan elemen pengerjaan proyek sesuai standar kualifikasi yang telah ditentukan.

Ini berlaku juga bagi beberapa proyek pengembangan yang telah dan sedang dilakukan di Blok Mahakam. Diantaranya pembuatan 3 anjungan (platform) Sisi Nubi 2B dan Peciko 7B. Pengerjaan platform yang dibuat di yard Gunanusa Fabricators di Cilegon telah selesai dan saat ini sedang memasuki tahapan instalasi. 

Investasi pembuatan dan pemasangan plaform Sisi Nubi fase 2B dan Peciko 7B mencapai US$2 miliar, sesuai POD yang telah disetujui seperti yang juga telah diberitakan di media-media. Kedua proyek lepas pantai tersebut diperkirakan akan dapat beroperasi dan mulai melakukan drilling sekitar akhir tahun ini atau awal Januari 2014. Setelah pemasangan jacket selesai, kemudian akan dilanjutkan dengan pemasangan topsides yang dilakukan bulan Oktober ini.

Proyek pengembangan Sisi Nubi dan Peciko dilakukan untuk mencari potensi cadangan baru, agar tingkat produksi dapat dipertahankan pada tahun-tahun mendatang. Kedua proyek tersebut telah dimulai beberapa tahun lalu dan dibutuhkan 3-4 tahun untuk menyelesaikannya.

Lalu bagaimana dengan proyek-proyek atau investasi selanjutnya? Investasi lanjutan tetap diperlukan mengingat blok Mahakam sudah berproduksi 40 tahun. Investasi baru untuk mencari cadangan migas harus terus dilakukan. Hal ini telah dilakukan Total E&P Indonesie selaku operator Blok Mahakam. Namun, yang jadi persoalan saat ini adalah masih menggantungnya keputusan terkait operator Blok Mahakam setelah kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex Corp untuk mengembangkan blok tersebut akan berakhir 2017.

Operator Blok Mahakam (Total E&P Indonesie) telah mengajukan proposal untuk memperpanjang kontrak beberapa tahun silam. Pemerintah dan Pertamina ingin ada keterlibatan Pertamina pada skema baru pengembangan blok tersebut pasca 2017. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan, apakah kontrak diperpanjang atau pemerintah memilih opsi baru dengan melibatkan operator lama dan mengakomodasi keinginan Pertamina untuk mengambil bagian dalam pengembangan blok tersebut pasca 2017.

Dari berbagai pernyataan yang disampaikan oleh pejabat kementerian ESDM, skema joint-operation kemungkinan bakal diambil oleh pemerintah agar produksi Blok Mahakam tetap optimal. Bila opsi ini yang akan diambil pemerintah, boleh jadi ini opsi win-win solution karena skenario investasi kelanjutan operator bakal tetap direalisasikan dan tidak ada perubahan drastis pada sisi pekerja dan karyawan yang telah bekerja di blok tersebut. Yang pasti, Blok Mahakam membutuhkan investasi besar tiap tahun agar produksi tetap berlanjut mengingat blok ini tergolong blok tua. Karakteristik eko sistem maupun layer perut bumi tergolong unik karena berada di rawa-rawa (swamp area).

Total telah mengoperasikan Blok Mahakam bersama mitranya Inpex sejak 1967. Kontrak tahap pertama berakhir 1997 dan kemudian diperpanjang oleh pemerintah dan Pertamina. Saat itu (1997), Pertamina juga berfungsi sebagai pengawas atau regulator industri migas. Kontrak yang diperpanjang tahun 1997 itu akan berakhir pada semester I tahun 2017. Ada beberapa lapangan yang berproduksi saat ini yakni Tunu, Tambora, Peciko, Sisi dan Nubi.

Sebelumnya kedua perusahaan tersebut, Total dan Inpex, berencana untuk berinvestasi US$7,3 miliar dalam beberapa tahun kedepan untuk mempertahankan tingkat produksi Blok Mahakam. Investasi tersebut untuk mencari lapangan baru maupun untuk mempertahankan tingkat produksi. Mengingat kian mepetnya waktu berakhir kontrak pengelolaan Blok Mahakam, pada saat yang sama blok tersebut membutuhkan investasi besar untuk memastikan produksi dipertahankan, maka penting bagi pemerintah untuk membuat keputusan terkait kontrak pengelolaan blok Mahakam pasca 2017. Kita berharap pemerintah akan segera membuat keputusan sebelum akhir tahun ini. Bila ditunda lagi, dikhawatirkan tidak akan ada keputusan tahun 2014 karena pemerintah sudah sibuk dengan pemilihan umum. Maka waktu yang tepat mengambil keputusan adalah sebelum akhir 2017. Semoga. (*)

Friday, 4 October 2013

Menanti Keputusan Pemerintah Terkait Kontrak Blok Mahakam

Platform Bekapai, Blok Mahakam
Jelang berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie dalam mengembangkan Blok Mahakam tahun 2017, perusahaan migas asal Perancis itu tetap melanjutkan proyek yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Sebagai contoh proyek pengembangan Sisi Nubi 2B dan Peciko 7B sedang dalam proses penyelesaian akhir. Kedua proyek tersebut merupakan proyek pengembangan lanjutan untuk mencegah penurunan produksi gas bumi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur, Indonesia.

Kedua proyek tersebut nilainya mencapai triliunan rupiah (US$2 miliar), melibatkan ribuan pekerja, ratusan kontraktor dan suplier dari dalam negeri. Pengerjaan proyek tersebut telah melalui proses perencanaan yang cukup lama, mulai dari desain awal, pengadaan material, pengerjaan dan pembuatan platform, pengiriman ke lokasi di lepas pantai hingga pemasangan. Setelah itu, masih akan dilanjutkan dengan commissioning sebelum dioperasikan secara penuh.

Proyek platform lepas pantai seperti Sisi Nubi 2B dan Peciko7B bukan proyek bulanan atau setahun. Tapi telah direncanakan 3-5 tahun sebelumnya. Kesuksesan sebuah proyek terletak pada kesukesan pada tahap perencanaan dan ketelitian dalam mengesekusi proyek sesuai rencana. Proyek pengembangan lapangan  Migas tentu telah disetujui sebelumnya oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini SKKMIGAS (sebelumnya BPMIGAS). Sebagai kontraktor kontrak kerjasama (KKKS atau PSC), pengembangan dilakukan setelah mendapat persetujuan.

Seluruh rancang bangun dan fabrikasi proyek ini dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan nasional yakni PT Gunanusa Fabricator (EPSC 1+2) dan PT Rajawali Swiber Cakrawala (EPSC 3+4). Pengerjaan kedua proyek tersebut bukti komitmen operator, Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex untuk melanjutkan investasi di Blok Mahakam.

Bagaimana proyek-proyek dan rencana investasi selanjutnya? Seperti sudah diketahui, kontrak operator Blok Mahakam saat ini, yakni Total E&P Indonesie (dengan mitra non-operatornya Inpex) akan berakhir 2017. Tentu hal ini akan berpengaruh pada rencana investasi pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Untuk proyek-proyek yang akan berakhir sebelum 2017, tampaknya masih akan dilanjutkan, tapi untuk proyek-proyek yang akan berakhir setelah 2017, kemungkinan akan di-hold dulu.

Sebagai pekerja migas di Blok Mahakam, tentu sangat berharap pemerintah akan segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam setelah tahun 2017. Idealnya, keputusan perpanjangan atau tidak dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, idealnya, keputusan kontrak Blok Mahakam sudah diputuskan tahun lalu. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan.

Karena itu, sebagai pekerja migas di Blok Mahakam kita berharap pemerintah akan segera membuat keputusan terkait kontrak Blok Mahakam. Tahun 2013 adalah tahun yang tepat bagi pemerintah untuk membuat keputusan. Bila keputusan tahun ini, maka operator memiliki waktu untuk membuat perencanaan investasi kedepan. Semakin lambat pemerintah membuat keputusan semakin tinggi tingkat risiko karena produksi bisa terganggu dan menurun. 

Bila keputusan ditunda tahun depan, boleh jadi tidak akan ada keputusan karena pemerintah sudah sibuk dengan Pemilu. Bila diserahkan ke pemerintah baru, juga tidak bijaksana karena pemerintah hasil pemilu akan membutuhkan waktu lagi untuk mempelajari. Bisa-bisa, keputusan baru akan dibuat 1-2 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ini sangat berisiko.
 
Seperti yang diberitakan di media-media, pemerintah punya tiga opsi terkait kontrak Blok Mahakam. Opsi pertama, kontrak diperpanjang, Opsi kedua, kontrak tidak diperpanjang dan opsi ketiga skema yang melibatkan operator lama dan pemain baru, yakni Pertamina.

Apapun keputusannya, semua berharap agar pemerintah membuat keputusan yang tepat dan bijak, tidak grasa-grusu, melalui evaluasi yang mendalam. Juga tidak membuat keputusan hanya karena desakan sekolompok elemen masyarakat. Pertimbangannya adalah apa yang terbaik bagi negara. 

Pengembangan sebuah blok tidak bisa disamakan dengan kontrak untuk mengembangkan pasar Tanah Abang, misalnya, dimana pergantian operator tidak akan sulit. Pergantian operator sebuah blok, apalagi sebuah blok raksasa, yang sudah mulai uzur tentu tidak mudah. Investasi yang dibutuhkan semakin tinggi untuk mempertahnkan produksi. 

Blok Mahakam ibarat sebuah kapal tanker yang tidak mudah berubah arah dengan cepat dan instan. Untuk belok ke kiri atau ke kanan, perlu direncanakan dengan matang dan dilakukan perlahan. Bila tidak, kapal tanker tersebut terancam rusak atau berhenti beroperasi.

Blok Mahakam adalah blok yang tergolong tua karena sudah beroperasi kurang lebih 40 tahun. Cadangan yang tersisa diperkirakan sekitar 30%. Disamping itu, kondisi Blok Mahakam sangat berbeda dengan karakter blok-blok lain di Indonesia karena letaknya di rawa-rawa. Reservoir di bawah perut bumi pun tersebar kemana-mana dan kecil-kil. Karena itu, ratusan sumur dibor setiap tahun untuk mempertahankan produksi. Material yang tersedot ke permukaan pun sudah berbeda belasan tahun lalu, sehingga dibutuhkan teknologi canggih untuk memisahkan gas dan minyak dengan pasir atau lumpur. 

Karena itu, penting bagi pemerintah untuk melihat segala aspek teknis, non-teknis, kapasitas dan kemampuan operator, pengalaman, komitmen dan rencana investasi kedepan serta risiko dalam membuat keputusan. Untuk menghindari risiko, keputusan yang paling aman ya, diperpanjang. Tapi opsi ini kemungkinan kecil terjadi. 

Opsi yang paling mungkin diambil pemerintah tampaknya semacam joint-operation. Dari sisi pekerja, opsi ini paling ideal karena tidak terjadi perubahan drastis. Sistem tetap akan berjalan seperti biasa. Bagaimana mekanismenya, kita serahkan saja ke pemerintah sebagai pemilik Blok Mahakam.
(*)