Sunday, 15 December 2013

Indonesia Rugi, Produksi Blok Mahakam Bakal Menurun Jelang Kontrak Berakhir



Produksi gas bumi dari Blok Mahakam, yang menyumbang 30 persen produksi gas nasional Indonesia saat ini, diperkirakan akan menurun sebesar 5,7 persen setiap tahun dan menurun seperti tiga sebelum tahun 2017 seiring dengan semakin menuanya blok Mahakam yang telah berproduksi selama 46 tahun. Blok Mahakam dioperasikan oleh Total E&P Indonesie dengan mitra non-operator Inpex Corporation, perusahaan minyak dan gas bumi asal Jepang, yang kini mengembangkan Blok Masela.

Blok Mahakam diperkirakan akan memproduksi 1,66 miliar kaki kubik gas setiap hari tahun 2014, turun dari 1,76 miliar kaki kubik per hari tahun ini, kata Arividya Noviyanto, seorang wakil presiden Total E&P Indonesie, seperti yang dikutip Bloomberg. Mahakam diperkirakan akan mengekspor 166 kargo LNG tahun 2014 melalui fasilitas LNG Bontang dibanding 168 kargo LNG tahun ini.

Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya berupaya untuk meningkatkan produksi LNG seiring menurunnya produksi minyak dan meningkatnya permintaan dan konsumsi minyak dan gas bumi di dalam negeri. “Akan menjadi lebih sulit untuk  menjustifikasi investasi sebelum tahun 2017, bila produksi fasilitas tambahan produksi tersebut baru memberikan hasil setelah kontrak berakhir tahun 2017,” kata Noviyanto. “Menurut rencana investasi kami saat ini, produksi diperkirakan mencapai 1-1,2 miliar kaki kubik sebelum tahun 2017.”

Total bermitra dengan Inpex Corp dalam mengembangkan Blok Mahakam dan telah menyumbang pendapatan ke negara selama 40 tahun terakhir. Kontrak operatorship Total dan Inpex akan berakhir tahun 2017. Kedua perusahaan tersebut telah mengajukan perpanjangan kontrak selama 5 tahun dan mengurangi kepemilikan mereka setelah itu. Total dan mitranya berencana menambah investasi US$11 miliar pada periode 2013-2017 untuk mengembangkan Blok Mahakam, baik untuk mengebor sumur-sumur baru untuk memperlambat laju penurunan lapangan-lapangan migas di Blok Mahakam, yang semakin tua tersebut.

Blok Mahakam diperkirakan memiliki cadangan 1,5 kaki kubik setelah 2017, kata Noviyanto. Lapangan-lapangan utama yang telah berproduksi sejak 1967, antara lain, Peciko, Tunu dan Tambora, Bekapai serta Handil. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) baru-baru ini mengatakan pemerintah mempertimbangkan melibatkan operator lama dan baru dalam mengembangkan Blok Mahakam pasca 2017. Bila opsi diambil, maka akan lebih ideal dan menguntungkan Indonesia. Produksi dapat dioptimalkan, risiko dapat dihindari dan negara diperkirakan mendapatkan kontribusi dari Blok Mahakam. (*)

Monday, 2 December 2013

Indonesia Tak Perpanjang Kontrak Blok Siak, Peringatan Terhadap Upaya Nasionalisasi?

Pipa Angguk
Setelah ditunggu-tunggu cukup lama, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan nasib pengelolaan Blok Siak dan Blok Kampar, yang dikelola oleh masing-masing PT Chevron Pacific Indonesia dan PT Medco Energi. Pemerintah tidak memperpanjang kontrak kedua blok tersebut. Untuk sementara, kedua operator tersebut tetap mengelola kedua blok hingga enam bulan sebagai masa transisi, baru kemudian diserahkan ke Pemerintah Indonesia. Pemerintah selanjutnya akan menyerahkan pengelolaan kedua blok tersebut ke perusahaan minyak dan gas negara Pertamina. Keputusan tersebut diumumkan satu hari setelah deadline kontrak berakhir yakni 27 November 2013.

Berbeda dengan sebelum reformasi 1998, saat ini isu perpanjangan dan tidak perpanjangan blok migas diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan politik. Perusahaan daerah, kelompok-kelompok masyarakat turut menuntut kepada pemerintah agar aspirasinya didengarkan. Dalam kasus Blok Siak dan Blok Kampar misalnya, pemerintah daerah, kelompok-kelompok masyarakat menuntut pemerintah pusat agar daerah ikut dilibatkan menjadi pemegang hak kepesertaan (participating interest) pada kontrak baru.

CPI sendiri jauh-jauh hari telah mengajukan kepada pemerintah bahwa perusahaan migas yang menjadi produsen minyak terbesar Indonesia tersebut tertarik untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok Siak. Pengajuan perpanjangan pun telah diajukan beberapa tahun lalu. Pada saat yang sama, Pertamina juga telah menyatakan minatnya untuk mengelola Blok Siak. Sementara Medco, pada awalnya tidak secara tegas ingin memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Kampar, tapi belakangan perusahaan milik Arifin Panigoro tersebut menyatakan ingin melepas blok Kampar.

CPI seperti yang diucapkan oleh juru bicara perusahaan tersebut kecewa dengan keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, perusahaan tersebut dapat menerima keputusan pemerintah.

Blok Siak sebetulnya tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional. Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar 320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.

CPI sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih bernama PT California Texas Indonesia.  CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat ini belum diputuskan pemerintah. 

Walaupun produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan dapat dioptimalkan. Jadi, tetap saja pantas CPI kecewa dengan keputusan pemerintah.

Keputusan pemerintah tersebut menarik untuk disimak. Kritik yang muncul adalah soal timing keputusan. Pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sangat telat membuat keputusan, yakni sehari setelah kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat jauh sebelum kontrak berakhir. Ini memberikan sinyal yang buruk bagi ketidakpastian usaha. 

Walaupun blok Siak tergolong blok kecil dengan produksi 2000 barel minyak per hari, tetap saja, terlambatnya keputusan tersebut tetap dinilai tidak tepat. Bagamana misalnya keputusan tersebut dibuat untuk blok-blok besar seperti blok Mahakam? Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator baru maupun lama punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi karena investasi di industri migas bersifat jangka panjang.


Pertanyaan yang muncul adalah apakah keputusan pemerintah tersebut dibuat murni atas hasil evaluasi independen dan mendalam, atau lebih kepada pertimbangan sosial politik, mengingat semakin maraknya gerakan nasionalisasi industri migas belakangan ini? Seperti yang terlihat belakangan, sebagian kelompok atau elemen masyarakat menggunakan sentimen atau alasan nasionalisasi untuk mendesak pemerintah tidak memperpanjang kontrak-kontrak blok minyak dan gas yang kontraknya berakhir.

Bila keputusan pemerintah dibuat berdasarkan hasil evaluasi independen dan mendalam serta mempertimbangkan faktor kepentingan bangsa, maka keputusan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. Namun, bila keputusan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan sosial politik, maka keputusan patut dipertanyakan. Bila itu yang terjadi, artinya pemerintah membiarkan dirinya tunduk pada desakan kepentingan-kepentingan kelompok dan elemen masyarakat untuk menasionalisasi industri migas. Kondisi ini akan menjadi sinyal buruk bagi investasi dan pengembangan industri migas kedepan, apalagi saat ini Indonesia masih membutuhkan investasi besar untuk eksplorasi maupun untuk produksi migas.

Kemungkinan lain, pemerintah melihat Blok Siak bisa dikelola oleh Perusahaan nasional. Artinya, untuk blok-blok tertentu tidak diperpanjang, namun untuk blok-blok lain diperpanjang atau pemerintah akan membentuk skema operatorship baru. Pelaku industri migas berharap pemerintah lebih bijak dan jeli dalam membuat keputusan terkait kontrak blok-blok migas, terutama blok migas yang berskala besar seperti Blok Mahakam.

Apapun keputusan pemerintah, pengelola blok tersebut harus dapat memberi kontribusi lebih banyak ke negara. Untuk blok Mahakam, bila pemerintah ingin melibatkan operator lama dan baru, maka keputusan tsb berdasarkan pertimbangan optimalisasi dan kontribusi bagi negara. Pemerintah harus pastikan negara akan mendapatkan lebih banyak berdasarkan skema kontrak baru.

Pelaku industri migas berharap pemerintah bijak dan tegas dalam membuat keputusan, mana yang terbaik bagi perkembangan industri migas nasional selanjutnya yang saat ini dan kedepannya membutuhkan investasi besar. Jangan sampai keputusan dibuat dengan tujuan nasionalisasi industri migas, tetapi lebih untuk kemajuan industri migas nasional. Bila tujuannya adalah untuk menasionalisasi industri migas (resources nationalism) maka ini akan membuat investor minggat dari Indonesia dan justru akan merugikan Indonesia. Industri migas merupakan industri yang membutuhkan investasi besar dan teknologi. Indonesia tetap membutuhkan investor besar (IOC) masuk, dan pada saat yang sama mendorong industri migas nasional berkembang. (*)

Thursday, 21 November 2013

Peran Gas Bumi dalam Perekonomian Indonesia dan Blok Mahakam

Siang itu, saat menunggu pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, secara tak sengaja saya bertemu dengan mantan rekan kerja saya. Sambil menunggu pesawat kami menyeruput kopi di sebuah kedai kopi di bandara tersebut. Rekan saya rupanya hendak berangkat dinas lagi ke Brasil untuk kembali bekerja di sebuah proyek lapangan minyak lepas pantai di negara tersebut. Belakangan memang cukup banyak insinyur-insinyur Indonesia yang bekerja di luar negeri, baik di Timur Tengah, Afrika maupun di Amerika Selatan. Ketiga kawasan itu, memang sedang giat-giatnya mengembangkan proyek-proyek minyak dan gas bumi.
 
Sambil membuka-buka lembaran koran, mata saya tertuju pada sebuah berita, bahwa era minyak sudah lewat, saatnya era gas bumi. Berita di salah satu media nasional tersebut mengutip salah satu pejabat SKK Migas, yang mengatakan bahwa Indonesia kini dan kedepan boleh berharap pada produksi gas bumi, sementara produksi minyak bakal terus menurun secara alamiah. Hasil pengeboran beberapa tahun belakangan, kata pejabat itu, lebih banyak gas bumi yang diperoleh ketimbang minyak. 

Proyek-proyek besar kedepan juga lebih banyak merupakan proyek gas bumi seperti Blok Masela (Inpex dan Shell), Blok East Natuna (Pertamina), proyek LNG Senoro (Medco dan Mitsubishi), IDD, train 3 BP, juga akan memproduksi gas bumi, dengan pengecualian Blok Cepu. Indonesia kini hanya berharap produksi Blok Cepu untuk menambah produksi minyak. Namun, dalam 10 tahun terakhir tidak ada penemuan cadangan minyak terbukti sekelas Cepu. Penemuan cadangan minyak terbukti terbesar dan terakhir adalah Blok Cepu.

Kami pun terlibat diskusi ringan sambil menyeruput kopi Toraja hangat. Kolega saya itu bercerita bahwa Brasil dalam 10 tahun terakhir begitu giat melakkan eksplorasi di lepas pantai, yang sebagian besar tergolong lapangan laut dalam. Dan upaya tersebut telah membuahkan hasil. Produksi minyak Brasil kini melonjak dan beberapa lembaga memperkirakan Brasil bakal menjadi produsen minyak ke-6 terbesar di dunia, bila proyek-proyek yang sedang berjalan sudah mulai beroperasi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Cadangan minyak terbukti Indonesia saat ini hanya sebesar 3,7 miliar barel. Cadangan tersebut, bila tidak ada tambahan baru, bakal habis 10-12 tahun lagi. Bila tidak ada tambahan cadangan, maka bersiap-siaplah Indonesia untuk mengimpor minyak 100%. Tentu saja ini tidak sehat bagi keuangan negara dan kestabilan ekonomi karena sewaktu-waktu ekonomi terancam gejolak bila harga minyak dunia naik. Lain soal bila produksi minyak dalam negeri masih cukup signifikan, sehingga kenaikan harga minyak tidak terlalu berdampak pada keuangan negara (APBN). 

Cadangan gas bumi, dalam 30-40 tahun juga bakal habis bila tidak ada tambahan cadangan baru. Namun, potensi Indonesia sebetulnya masih ada karena baru 60 dari 130 cekungan (basin) yang baru dieksplorasi. Masih ada separuh lagi yang belum tersentuh atau dieksplorasi. Ini merupakan peluang bagi perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi. Persoalannya, sebagian besar cekungan tersebut berada di lepas pantai dan laut dalam serta tergolong daerah frontier. Mengeksplorasi kawasan itu tentu berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar. 

Disini sebetulnya pemerintah dapat berperan, yakni memberikan insentif kepada perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi di laut dalam dan daerah-daerah frontier. Disamping itu, perusahaan eksplorasi seharusnya tidak diberi beban pajak (PBB) untuk Working Area yang masih dalam proses pengembangan atau eksplorasi. Alasannya, lapangan tersebut belum tentu ada cadangan migas terbukti. Indonesia Petreleum Association (IPA) juga telah menyuarakan keberatan mereka terhadap pengenaan PBB pada WK eksplorasi.

Disamping mendorong investasi untuk eksplorasi, pemerintah juga perlu menjaga tingkat produksi minyak dan gas bumi, terutama pada blok-blok yang sudah berproduksi dan memberikan kontribusi signifikan bagi negara, termasuk Blok Mahakam, yang menyumbang 80% gas bumi ke fasilitas LNG Bontang. Pemerintah perlu mempertimbangkan kelanjutan operasional Blok Mahakam saat memutuskan operator baru pasca 2017 nanti. Total E&P Indonesie (dan Inpex) telah mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2007, namun hingga saat ini pemerintah belum mengambil keputusan. Bila keputusan ditunda, dikhawatirkan akan berpengaruh pada tingkat produksi dan rencana investasi lanjutan untuk mengembangkan blok tersebut.

Keputusan perpanjangan (atau tidak) Blok Mahakam memang mengundang pro-kontra. Namun, di atas semua pro-kontra itu, pemerintah perlu mempertimbangkan optimalisasi produksi, komitmen investasi, penerapan teknologi dan risiko dalam mengambil keputusan. Ini penting, karena keputusan yang diambil pemerintah akan berpengaruh pada kontribusi pendapatan negara dari Blok Mahakam. Publik berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan tahun ini. Bila keputusan diambil tahun ini, operator punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan investasi dan pengembangan lanjutan Blok Mahakam. (*)

Monday, 4 November 2013

Pemerintah Indonesia dan Optimalisasi Produksi Blok Mahakam Pasca 2017

Pekerjaan Rumah pemerintah kedepan pasca 2017 adalah bagaimana memastikan agar produksi Blok Mahakam dapat dioptimalkan. Walaupun sudah memasuki usia uzur, Blok Mahakam masih diharapkan memberikan kontribusi besar bagi produksi minyak dan gas nasional, serta pendapatan bagi negara (APBN). Tentu dengan catatan dikelola dengan benar oleh operator migas yang berpengalaman, memiliki reputasi baik dan  kompetensi yang tidak diragukan dan tak kalah penting tidak dijadikan komoditas politik oleh elit tertentu.
* * * 


Kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesia bersama mitranya Inpex Corporation akan berakhir pada Semester I 2017. Blok tersebut telah berproduksi selama 40 tahun berkontribusi cukup signifikan bagi pendapatan negara. Produksi gas bumi dari Blok Mahakam sendiri berkontribusi sekitar 30 persen produksi gas bumi Indonesia. Pekerjaan Rumah pemerintah kedepan pasca 2017 adalah bagaimana mengoptimalkan produksi migas Blok Mahakam. Walaupun sudah memasuki usia uzur (ageing), Blok Mahakam masih diharapkan memberikan kontribusi besar bagi produksi minyak dan gas nasional, serta pendapatan bagi negara (APBN).

Pertanyaannya, apa yang dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan produksi Blok Mahakam? Jelang kontrak pengelolaan Blok Mahakam, operator Blok Mahakam hingga saat ini, terus melakukan investasi sesuai dengan plan of development (PoD) yang telah disetujui oleh pemerintah. Investasi untuk eksplorasi maupun meningkatkan produksi sangat diperlukan untuk mencegah penurunan alami yang terjadi di blok tersebut, sebagaimana yang terjadi pada blok-blok migas lainnya.

Pengembangan Blok Mahakam selama 40 tahun terakhir boleh jadi tidak bisa diterapkan lagi dalam periode 10-20 tahun kedepan. Mengangkat gas bumi dan minyak bumi dari perut bumi tidak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional sebelumnya. Diperlukan metode-metode dan terobosan teknologi untuk mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. Teknologi EOR (enhanced oil recovery) diperlukan untuk mengoptimalkan produksi blok Mahakam kedepan. Operator juga akan membutuhkan investasi besar setiap tahun untuk mempertahankan produksi.

Dalam 4-5 tahun kedepan, operator Blok Mahakam, Total E&P Indonesie, seperti yang sering diberitakan di media-media, baik media cetak maupun online, berkomitmen untuk berinvestasi US$7.3 miliar. Investasi besar dibutuhkan setiap tahun untuk mencegah penurunan produksi migas, maupun mencari potensi atau cadangan migas baru di kawasan Blok Mahakam.

Hingga saat ini pemerintah belum membuat keputusan siapa atau skema seperti apa yang dipilih pemerintah dalam mengembangkan Blok Mahakam pasca 2017. Total E&P Indonesie dan Inpex sendiri sudah mengajukan ketertarikannya untuk memperpanjang kontrak untuk mengelola Blok Mahakam sejak 2007 tahun silam. Operator tentu paham betul karakter dan kondisi eko-system blok Mahakam, sehingga seharusnya keterlibatkan operator yang sekarang diharapkan dapat mengoptimalkan produksi migas Blok Mahakam.

Pada satu sisi, operator tersebut juga tidak terlalu ngotot untuk mempertahankan skema yang sekarang, dimana hak kepesertaan dibagi dua antara Total E&P Indonesie dan Inpex. Keinginan operator tersebut untuk melanjutkan pengembangan blok Mahakam juga menunjukkan komitmen perusahaan migas asal Perancis dan Jepang itu untuk berinvestasi untuk jangka panjang di Indonesia, sebuah komitmen yang dibutuhkan Indonesia saat ini, di saat negara ini sedang haus energi dan minim investasi. 

Pada satu sisi, Total E&P Indonesie berkomitmen untuk memastikan produksi Blok Mahakam berkesinambungan. Untuk itu, kedua perusahaan migas international tersebut membuka ruang bagi masuknya perusahaan migas nasional, Pertamina untuk terlibat dalam pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017.

Hal ini tentu sangat positif karena akan memberi kesempatan bagi transfer teknologi, kedua, produksi Blok Mahakam tidak akan terganggu atau mengalami disruption, ketiga beban investasi yang besar tiap tahun tidak akan ditanggung sendiri oleh Pertamina, tapi juga oleh Total E&P Indonesie dan Inpex, keempat, kerjasama di Blok Mahakam akan menjadi landasan bagi ketiga perusahaan tersebut untuk mengembangkan berbagai blok Migas di Tanah Air kedepan, termasuk Blok East Natuna, yang hingga saat ini masih terkatung-katung.

Tugas pemerintah saat ini adalah mencari skema yang tepat untuk mengembangkan Blok Mahakam kedepan. Skema yang tepat diperlukan untuk mengoptimalkan produksi migas dari Blok tersebut. Pada satu sisi, di saat pemerintah sedang melakukan evaluasi terkait operator Blok Mahakam pasca 2017, pemerintah berada dalam teknanan dari berbagai elemen masyarakat. Sayangnya, desakan-desakan tersebut terkadang bersifat politis, populis, tidak disertai fakta-fakta sehingga mengaburkan perjuangan kelompok masyarakat itu sendiri.

Sebagai contoh, berbagai LSM dibentuk untuk menasionalisasi blok-blok migas di Tanah Air. Namun, kemurnian gerakan nasionalisasi migas dipertanyakan. Gerakan nasionalisasi migas tampaknya dipakai kelompok tertentu untuk menarik simpati publik jelang Pemilihan Umum 2014.

Pada tahun politik tahun ini dan tahun dapan, apapun bisa dipolitisasi. Dan salah satu agenda empuk untuk menarik simpati rakyat adalah nasionalisasi migas. Lihat saja berbagai kelompok elemen masyarakat memainkan isu nasionalisasi migas untuk menyulu emosi calon pemilih. Bahkan ada kelompok masyarakat yang mengancam merdeka bila tuntutan mereka menasionalisasi blok-blok migas tertentu tidak diindahkan oleh pemerintah, termasuk blok Mahakam.

Beberapa bakal calon presiden yang akan bertempur pada Pemilu 2014 sudah mencoba menyampaikan pernyataan mereka kepada publik. Prabowo Subianto dari Partai Gerindra misalnya menilai nasionalisasi migas sebagai langkah mundur dan cerminan ketidakpahaman sekelompok masyarakat terhadap eksistensi dan kontribusi industri migas di Tanah Air terhadap kemajuan bangsa.

Mantan Panglima TNI Wiranto rupanya tidak tinggal diam. Dia mencoba mencuri perhatian publik dengan melontarkan pernyataan bahwa bahwa blok-blok migas tertentu, khususnya blok Mahakam dikelola oleh anak bangsa sendiri, yaitu Pertamina.
  
Terlepas dari hiruk-pikuknya isu Blok Mahakam, pemerintah dituntut untuk berpikir rasional, melakukan evaluasi secara rasional pula dan tidak tunduk pada tekanan-tekanan berbagai pihak yang motivasi kegiatannya dipertanyakan. Keputusan operator Blok Mahakam pasca 2017, tetap harus berpegang pada pertimbangan untuk mengoptimalkan produksi blok migas tua tersebut. (*)